Gue bukan penyuka produk Korea, mau itu artisnya, musik, film, bahkan makanannya. Sekitar 3 tahun lalu, gue pernah pergi berdua seorang teman untuk makan di sebuah restoran Korea di Setiabudi. Awalnya semua berjalan dengan baik, makan ini itu dengan enak tanpa ada keluhan dan tanpa berlebihan. Setelah makan, kami duduk-duduk sebentar sambil ngobrol dan menurunkan makanan di perut. Tiba-tiba perut gue bergejolak dan mengakibatkan mual, seperti mendorong semua makanan tadi kembali ke kerongkongan. Untungnya, restoran ini letaknya berdekatan dengan toilet. Setelah keluar dan agak berlari gue berhasil mencapai toilet dalam waktu 2 menit, mendorong pintu, dan langsung terjadilah proses pengosongan perut yang menjijikkan. Semuanya keluar tanpa sisa. Habis...

Sejak saat itu gue merasa mungkin memang gue tidak cocok dengan bumbu-bumbu yang dipakai dalam masakan Korea dan memilih untuk menjauhinya. Sampai beberapa saat lalu ketika bertemu dengan teman-teman kuliah dan bingung mau makan di mana. Entah kenapa gue punya ide gila untuk masuk ke sebuah rumah makan Korea yang ada di gedung itu. "Uji nyali", itu yang ada di pikiran gue.

 Ketika kami masuk ke restoran, lalu duduk, dan diberikan menu, kami hanya saling memandang sambil senyum-senyum. Empat orang perempuan yang tidak bisa akrab dengan produk Korea dan mencoba membaca menu yang tulisan nama makanannya semua dalam bahasa Korea tanpa penjelasan dalam bahasa
Indonesia sepertinya bisa menjadi pemandangan yang lucu. Setelah puas melihat-lihat gambarnya, kami memutuskan memanggil seorang pelayan untuk membantu menjelaskan. Sang pelayan dengan senang hati menjelaskan ini itu tentang beberapa hidangan yang menurut kami menarik gambarnya. Sayang sekali, gue lupa total apa nama masakan-masakan ini. Nggak ada niat untuk mencatat nama makanannya saat itu karena memang sedang malas ngeblog. Jadi, inilah yang kami pesan.

Mulai dari foto kiri atas, kalau nggak salah ini Toppoki, semacam appetizer. Menurut gue sih ini cuma cilok ala Korea aja. Teksturnya liat dan agak gurih, persis seperti cilok. Bedanya, cilok dimakan dengan bumbu kacang, Toppoki dimakan dengan semacam saus tomat yang dicampur saus sambal dan ditaburi keju mozzarela lalu dipanggang sebentar sampai kejunya meleleh. Harganya kalau nggak salah sekitar 50 ribu Rupiah.

Foto kanan atas itu bibimbap yang isinya adalah nasi, irisan wortel, lettuce, jagung pipil, daging iris tipis yang diberi sesendok sambal ghojuchang dan dibakar kemudian ketika akan dimakan kita aduk sendiri agar semua bumbunya tercampur. Porsi ini sepertinya cukup mengenyangkan untuk dimakan sendirian. Layak dengan harganya yang 55 ribu Rupiah.

Foto kiri bawah, lupa namanya. Ini semacam shabu-shabu tapi dengan kuah yang asam pedas (tapi beda dari tomyam). Kami pesan porsi besar waktu itu, dan sepertinya cukup untuk 5-6 orang. Isinya ada berbagai sayuran, jamur, tahu, dan bakso. Cukup enak. Agak lupa harganya, mungkin sekitar 200 ribu Rupiah.

Foto kanan bawah, ini makanan penutup. Isinya es serut disiram cairan putih lalu diberi toping buah-buahan, bulatan mutiara dan es krim. Ketika teman gue pesan ini gue pikir gue nggak akan suka karena kelihatannya manis sekali. Ternyata gue salah, tingkat kemanisannya pas dan enak, dan dari yang niatnya mencicip sesendok ternyata malah gue minta segelas kecil. Sambil makan gue bilang, "Ini enak banget sih es. Gurih gini. Pakai susu apa ya". Dan, dengan santai teman gue menjawab, "Kok susu sih. Ini kan whipcream cair yang bercampur es krim, ya jelas enak banget". Demi mendengar ini gue langsung meletakkan sendok dan berhenti makan. Whipcream?? Iya pantesan enak, tapi lemaknya banyaaakkkk :))


Lokasi: Tebet Green, lantai 2
Entah kenapa 6 bulan terakhir ini tidak pernah ada keinginan untuk menyentuh blog. Menguap semua keinginan itu entah kemana.

Tetapi, ketika semalam mata ini sulit sekali terpejam dan akhirnya jari-jari ini bergerak menelusuri beberapa foto makanan yang entah sudah tersimpan berapa lama, ada sesuatu yang menggelitik untuk kembali membuka laman ini.

Here I am, back again. Cerita makan-makan lagi yuk!