I actually like IKEA. Not so much though, because I know I can't buy the things I like from the store. Some I can't afford, some I don't need, some others I can afford and need but have no place to put in my house. Those fluffy sofas, for example, are too inviting to sit on. Unfortunately, they're too bulky for this tiny nest.

Sebagian orang berbondong-bondong mengunjungi IKEA sejak toko ini resmi dibuka sejak 2 bulan lalu. Gue sebenarnya sempat menjadi salah satu orang yang ingin sekali segera mengunjunginya. It is wondrous, though, how this desire dissapeared in a blink of a moment due to some personal reasons. Diajak berkali-kali pun gue selalu menggelengkan kepala.

Sampai ketika seorang teman menghubungi dan mengatakan dia sedang mengalami burn out. Dia salah satu perempuan tangguh yang pernah gue kenal dan jarang sekali mengeluh, jadi ketika dia memakai kata burn out, gue tau dia sudah benar-benar ada di titik terberat. Saat itu dia hanya berkata dia butuh hiburan yang bisa dilakukan dalam satu hari dan, kalau bisa, hiburannya jalan-jalan ke IKEA. I laughed so hard. Burn out kok ya masih bisa milih mau jalan kemana :p Anyway, there we went on a weekday. Gue gak mau ke IKEA di akhir pekan. Pegel nyetirnya dan nggak sanggup lihat lautan manusia memenuhi dalam toko itu.

Singkat cerita, kami tiba di IKEA. Gue berusaha menetapkan hati untuk tidak membeli barang-barang yang tidak terlalu diperlukan sebenarnya. Tapi yang terjadi adalah gue keluar dengan menenteng satu tas besar berisikan barang-barang yang.....nggak terlalu perlu sebenarnya *sigh* In my defense, they're too cute to pass. After all, I might not go there again within a short period. Yari yari yara....

Datang ke IKEA pasti nggak lengkap tanpa makan Swedish meatballs toh? Dari IKEA lain yang pernah gue kunjungi, Swedish meatballs - versi halal - yang mereka jual cukup menyenangkan indera perasa gue. Tidak terlalu mencengangkan rasanya, tapi cukup membuat tenang. Comfort food, it is. Ini pula yang menjadi patokan gue ketika merelakan diri antri selama 15 menit sebelum bisa sampai ke counter tempat mengambil sepiring Swedish Meatballs - isi 10 butir - dan salad. Dan chocolate cake. Dan siomay goreng. Dan satu cake lagi. Dan satu lagi.....

Keanehan pertama sebenarnya sudah gue rasakan ketika melihat warna meatballs ini. Pucat tidak menggairahkan. Ketika diletakkan dalam piring dan diberikan sausnya kemudian gue merasa ada yang kurang. Apa ya? Aha! Where's the cranberry sauce? Sadly, petugasnya mengatakan, "Kami tidak menyajikan cranberry sauce-nya, mbak". Yaaahhh.. gimana jadinya ini? Singkat cerita, kami duduk dan siap menikmati makanan. In high anticipation I grabbed my fork and took one meatball and shoved it into my wide gaping mouth. Damn.... it's bland. Jadi ya saudara-saudara, meatballs ini sepertinya dibuat dengan standar meatballs Indonesia alias bakso abang-abang. Masa iya sih yang terasa cuma terigunya. Rasa dagingnya seperti menguap entah kemana. Padahal aslinya meatballs itu kan dagingnya yang lebih dominan. Penggunaan terigu hanya sedikit sebagai alat bantu merekatkan dagingnya supaya bisa dibulatkan. Ah, payah nih...

Terus karena penasaran, gue coba potong sedikit somay gorengnya. Hiks, nggak ada rasanya juga. Ya sudahlah terpaksa pelan-pelan dimakan walaupun sama sekali nggak menikmati.

Setelah selesai makan, coba cake yang atasnya putih itu. Itu Almond Cake, yang gue pikir bakal enak. Ternyata oh ternyata, rasanya manis bangeettt.... Sakit gigi rasanya begitu makan sesuap. I stopped eating it. Bukannya mau buang makanan tapi gue lebih sayang gigi dan kadar gula darah. Kue yang coklat itu lumayan enak walaupun nggak istimewa. Bisa deh menutup kekecewaan sedikit.

Dengan gontai kemudian kami membereskan baki makanan, memuat kembali botol bekas, tisu, dan dan piring bekas makan kami kemudian meletakkannya di bagian penyimpanan baki kotor. Hal ini yang masih belum disadari oleh banyak pengunjung. IKEA menerapkan sistem siapapun yang makan harus mengembalikan sendiri semuanya ke tempat peralatan kotor tersebut. Namun, gue melihat masih banyak meja yang berisikan peralatan kotor. Bukan cuma peralatannya, tapi mejanya pun kotor berantakan remah makanan dan tetesan air. Memang ini belum membudaya, tapi semoga pelan-pelan kita bisa mengubahnya.

Jadi kesimpulannya, kalau nggak terpaksa banget ke sana karena mau beli perabot, sepertinya gue nggak akan kembali ke IKEA dalam waktu dekat, Selain makanannya nggak enak, hati ini pun teriris sembilu kalau harus sering-sering ke Alam Sutera *curcol dikit sebagai penutup*







It was supposed to be a happy day.

Nobody knew how devastated and heart-wrenched I was on that day. I put on the best smile I could, I laughed as loud as I could, I went craziest with everybody who was there.

No... nobody realized I was bleeding inside. It bled even worse when I came to realize it was only exactly a year ago when I felt like I was on top of the world. Now, I'm down at the dumps. Deepest and filthiest dump. Unsalvageable.

Anyway, we ended up at a cafe in Bogor. It's called Two Stories. It's on Jalan Pajajaran Indah V Np. 7, Bogor,near De Leuit. A warm and very nice ambience, price is very reasonable too. Unfortunately, service sucked. Three of our orders never showed up and nobody told us what was going on. It took almost 30 minutes for a glass of es teh tawar to come out.  The owners were at a table right next to ours and,-- I really made sure they did--, for sure they were aware that we frowned and I was at the verge of yelling but did nothing.

Food was good but when it comes with such bad service, I wouldn't even consider to go back.



Top left: chicken wings, crispy skin, good sauce, good price. Top right: forgot the name but it's a kind of potato gratin. Quite good too.
Bottom left:Javanese nachos. It's basically cassava chips topped with mozzarella cheese and green chili. Not so good. Bottom right: lemon squash in pitcher, so-so





Gue bukan penyuka produk Korea, mau itu artisnya, musik, film, bahkan makanannya. Sekitar 3 tahun lalu, gue pernah pergi berdua seorang teman untuk makan di sebuah restoran Korea di Setiabudi. Awalnya semua berjalan dengan baik, makan ini itu dengan enak tanpa ada keluhan dan tanpa berlebihan. Setelah makan, kami duduk-duduk sebentar sambil ngobrol dan menurunkan makanan di perut. Tiba-tiba perut gue bergejolak dan mengakibatkan mual, seperti mendorong semua makanan tadi kembali ke kerongkongan. Untungnya, restoran ini letaknya berdekatan dengan toilet. Setelah keluar dan agak berlari gue berhasil mencapai toilet dalam waktu 2 menit, mendorong pintu, dan langsung terjadilah proses pengosongan perut yang menjijikkan. Semuanya keluar tanpa sisa. Habis...

Sejak saat itu gue merasa mungkin memang gue tidak cocok dengan bumbu-bumbu yang dipakai dalam masakan Korea dan memilih untuk menjauhinya. Sampai beberapa saat lalu ketika bertemu dengan teman-teman kuliah dan bingung mau makan di mana. Entah kenapa gue punya ide gila untuk masuk ke sebuah rumah makan Korea yang ada di gedung itu. "Uji nyali", itu yang ada di pikiran gue.

 Ketika kami masuk ke restoran, lalu duduk, dan diberikan menu, kami hanya saling memandang sambil senyum-senyum. Empat orang perempuan yang tidak bisa akrab dengan produk Korea dan mencoba membaca menu yang tulisan nama makanannya semua dalam bahasa Korea tanpa penjelasan dalam bahasa
Indonesia sepertinya bisa menjadi pemandangan yang lucu. Setelah puas melihat-lihat gambarnya, kami memutuskan memanggil seorang pelayan untuk membantu menjelaskan. Sang pelayan dengan senang hati menjelaskan ini itu tentang beberapa hidangan yang menurut kami menarik gambarnya. Sayang sekali, gue lupa total apa nama masakan-masakan ini. Nggak ada niat untuk mencatat nama makanannya saat itu karena memang sedang malas ngeblog. Jadi, inilah yang kami pesan.

Mulai dari foto kiri atas, kalau nggak salah ini Toppoki, semacam appetizer. Menurut gue sih ini cuma cilok ala Korea aja. Teksturnya liat dan agak gurih, persis seperti cilok. Bedanya, cilok dimakan dengan bumbu kacang, Toppoki dimakan dengan semacam saus tomat yang dicampur saus sambal dan ditaburi keju mozzarela lalu dipanggang sebentar sampai kejunya meleleh. Harganya kalau nggak salah sekitar 50 ribu Rupiah.

Foto kanan atas itu bibimbap yang isinya adalah nasi, irisan wortel, lettuce, jagung pipil, daging iris tipis yang diberi sesendok sambal ghojuchang dan dibakar kemudian ketika akan dimakan kita aduk sendiri agar semua bumbunya tercampur. Porsi ini sepertinya cukup mengenyangkan untuk dimakan sendirian. Layak dengan harganya yang 55 ribu Rupiah.

Foto kiri bawah, lupa namanya. Ini semacam shabu-shabu tapi dengan kuah yang asam pedas (tapi beda dari tomyam). Kami pesan porsi besar waktu itu, dan sepertinya cukup untuk 5-6 orang. Isinya ada berbagai sayuran, jamur, tahu, dan bakso. Cukup enak. Agak lupa harganya, mungkin sekitar 200 ribu Rupiah.

Foto kanan bawah, ini makanan penutup. Isinya es serut disiram cairan putih lalu diberi toping buah-buahan, bulatan mutiara dan es krim. Ketika teman gue pesan ini gue pikir gue nggak akan suka karena kelihatannya manis sekali. Ternyata gue salah, tingkat kemanisannya pas dan enak, dan dari yang niatnya mencicip sesendok ternyata malah gue minta segelas kecil. Sambil makan gue bilang, "Ini enak banget sih es. Gurih gini. Pakai susu apa ya". Dan, dengan santai teman gue menjawab, "Kok susu sih. Ini kan whipcream cair yang bercampur es krim, ya jelas enak banget". Demi mendengar ini gue langsung meletakkan sendok dan berhenti makan. Whipcream?? Iya pantesan enak, tapi lemaknya banyaaakkkk :))


Lokasi: Tebet Green, lantai 2
Entah kenapa 6 bulan terakhir ini tidak pernah ada keinginan untuk menyentuh blog. Menguap semua keinginan itu entah kemana.

Tetapi, ketika semalam mata ini sulit sekali terpejam dan akhirnya jari-jari ini bergerak menelusuri beberapa foto makanan yang entah sudah tersimpan berapa lama, ada sesuatu yang menggelitik untuk kembali membuka laman ini.

Here I am, back again. Cerita makan-makan lagi yuk!
Biasanya setiap tahun di bulan Oktober gue akan mengusahakan mendatangi satu tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya. Sampai tahun kemarin, dan tahun ini, tempat baru itu diusahakan di dalam Indonesia mengingat banyak sekali wilayah di dalam negeri tercinta ini yang belum pernah gue lihat. Oktober tahun lalu gue berhasil melaksanakan niat ini, sekaligus memenuhi keinginan yang sudah dipendam sekitar 3 tahun, untuk menginjakkan kaki di Madura. Bahagianya pun makin berlipat ratusan kali karena perginya bersama dengan mas bebep :)

Pecinta makanan yang tinggal di pulau Jawa, dan bagian lain Indonesia mungkin, pasti pernah dengar ketenaran bebek Sinjay. Begitupun gue. Ngebet banget pengen merasakan makan bebek Sinjay di tempat aslinya. Tapi cerita kali ini bukan tentang bebek Sinjay yang sudah banyak diulas. Ketika menginap di rumah seorang sanak saudara, yang bersangkutan berkali-kali menekankan untuk mencoba bebek Songkem, selain tentu saja bebek Sinjay. Penasaran, kami pun berpikir kalau memang ketemu tempatnya ya kita coba saja mumpung sedang di sana. Jarang-jarang kan bisa makan masakan asli Madura. Istilah bebek songkem muncul saat pertama kali masakan ini dibuat beberapa puluh tahun yang lalu. Konon masyarakat kota Sampang dengan notabene menjunjung dan menghormati Kyai, selalu membawa oleh - oleh bila hendak ke rumah sang Kyai untuk songkeman. Maka jadilah masakan bebek yang mereka bawa disebut bebek songkem.

Warung yang kami tuju nampaknya warung yang baru buka dan sedang gencar promosi. Sejak dari ujung akhir tol Suramadu, bendera merah berkibar di sepanjang jalan menunjukkan berapa meter lagi jarak kami dari bebek Songkem. Mulai dari 3 kilometer, terus mengecil sampai persis di depan warungnya. Warungnya cukup sederhana, cukup luas dan, yang terpenting, bersih. Begitu masuk kami langsung memesan di counter yang tersedia. Bebek goreng untuk mas bebep, bebek bakar buat gue. Satu hal menarik dari masakan ini adalah bebek yang disajikan dikukus terlebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut sesuai pilihan; goreng, bakar, bakar madu, atau tetap kukus. Warung ini menggadang bahwa dengan dikukus maka lapisan lemak di bawah kulit bebek akan luntur dan karena itu menjadikan bebeknya tidak berkolesterol tinggi. Perfecto!

Disajikan dalam potongan setengah ekor dan nasi dengan ukuran yang cukup banyak, air liur gue menetes begitu potongan dada bebek diletakkan di hadapan mata. OK, mesti atur strategi untuk perut karena setelah ini akan tetap ke bebek Sinjay. Gue memilih untuk hanya menyantap sedikit nasinya supaya masih ada Ruang nanti. Hal pertama yang gue lakukan, cicipi sambalnya. Aduh... sambil ngetik ini aja mulut gue berair lagi. Sambal matang sedikit berminyak dengan aroma lamat bawang putih dan irisan mangga asam manis. Pedasnya? Nendang! Langkah berikutnya, sobek daging bebeknya. Mengingat sudah dikukus, gue yakin nggak akan alot. Dan terkaan gue benar. Daging bebek bisa disuwir tanpa perlawanan sama sekali. Empuk maksimal. Satu hal yang gue langsung rasakan, ternyata benar tidak ada lapisan lemak di bawah kulit. Nyaris bersih. Kulitnya jadi tipis sekali dan terasa ringan. Dan begitu dicocol ke sambalnya, hhmmmmm..... langsung mikir, buka cabang di Jakarta gak sih? Gue nggak mencicipi bebek gorengnya karena terlalu asik menikmati porsi sendiri tapi dari penampakannya, kelihatan sama menariknya dengan punya gue. Buat gue bebek Songkem ini adalah jalan keluar dari kesukaan gue makan bebek tanpa harus khawatir sama kolesterolnya.

Andai ini buka cabang di Jakarta, gue yakin bisa menyaingi larisnya bebek "K" yang sekarang agak menurun rasanya itu. Jadi kalau ada kesempatan ke Madura, jangan coba bebek Sinjay aja. Bebek Songkem amat sangat layak dicoba. Ini namanya lengkap. Datang ke tempat baru yang diidamkan, dapat makanan super enak, dan makannya bareng mas bebep. Bahagia :)