Biasanya setiap tahun di bulan Oktober gue akan mengusahakan mendatangi satu tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya. Sampai tahun kemarin, dan tahun ini, tempat baru itu diusahakan di dalam Indonesia mengingat banyak sekali wilayah di dalam negeri tercinta ini yang belum pernah gue lihat. Oktober tahun lalu gue berhasil melaksanakan niat ini, sekaligus memenuhi keinginan yang sudah dipendam sekitar 3 tahun, untuk menginjakkan kaki di Madura. Bahagianya pun makin berlipat ratusan kali karena perginya bersama dengan mas bebep :)

Pecinta makanan yang tinggal di pulau Jawa, dan bagian lain Indonesia mungkin, pasti pernah dengar ketenaran bebek Sinjay. Begitupun gue. Ngebet banget pengen merasakan makan bebek Sinjay di tempat aslinya. Tapi cerita kali ini bukan tentang bebek Sinjay yang sudah banyak diulas. Ketika menginap di rumah seorang sanak saudara, yang bersangkutan berkali-kali menekankan untuk mencoba bebek Songkem, selain tentu saja bebek Sinjay. Penasaran, kami pun berpikir kalau memang ketemu tempatnya ya kita coba saja mumpung sedang di sana. Jarang-jarang kan bisa makan masakan asli Madura. Istilah bebek songkem muncul saat pertama kali masakan ini dibuat beberapa puluh tahun yang lalu. Konon masyarakat kota Sampang dengan notabene menjunjung dan menghormati Kyai, selalu membawa oleh - oleh bila hendak ke rumah sang Kyai untuk songkeman. Maka jadilah masakan bebek yang mereka bawa disebut bebek songkem.

Warung yang kami tuju nampaknya warung yang baru buka dan sedang gencar promosi. Sejak dari ujung akhir tol Suramadu, bendera merah berkibar di sepanjang jalan menunjukkan berapa meter lagi jarak kami dari bebek Songkem. Mulai dari 3 kilometer, terus mengecil sampai persis di depan warungnya. Warungnya cukup sederhana, cukup luas dan, yang terpenting, bersih. Begitu masuk kami langsung memesan di counter yang tersedia. Bebek goreng untuk mas bebep, bebek bakar buat gue. Satu hal menarik dari masakan ini adalah bebek yang disajikan dikukus terlebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut sesuai pilihan; goreng, bakar, bakar madu, atau tetap kukus. Warung ini menggadang bahwa dengan dikukus maka lapisan lemak di bawah kulit bebek akan luntur dan karena itu menjadikan bebeknya tidak berkolesterol tinggi. Perfecto!

Disajikan dalam potongan setengah ekor dan nasi dengan ukuran yang cukup banyak, air liur gue menetes begitu potongan dada bebek diletakkan di hadapan mata. OK, mesti atur strategi untuk perut karena setelah ini akan tetap ke bebek Sinjay. Gue memilih untuk hanya menyantap sedikit nasinya supaya masih ada Ruang nanti. Hal pertama yang gue lakukan, cicipi sambalnya. Aduh... sambil ngetik ini aja mulut gue berair lagi. Sambal matang sedikit berminyak dengan aroma lamat bawang putih dan irisan mangga asam manis. Pedasnya? Nendang! Langkah berikutnya, sobek daging bebeknya. Mengingat sudah dikukus, gue yakin nggak akan alot. Dan terkaan gue benar. Daging bebek bisa disuwir tanpa perlawanan sama sekali. Empuk maksimal. Satu hal yang gue langsung rasakan, ternyata benar tidak ada lapisan lemak di bawah kulit. Nyaris bersih. Kulitnya jadi tipis sekali dan terasa ringan. Dan begitu dicocol ke sambalnya, hhmmmmm..... langsung mikir, buka cabang di Jakarta gak sih? Gue nggak mencicipi bebek gorengnya karena terlalu asik menikmati porsi sendiri tapi dari penampakannya, kelihatan sama menariknya dengan punya gue. Buat gue bebek Songkem ini adalah jalan keluar dari kesukaan gue makan bebek tanpa harus khawatir sama kolesterolnya.

Andai ini buka cabang di Jakarta, gue yakin bisa menyaingi larisnya bebek "K" yang sekarang agak menurun rasanya itu. Jadi kalau ada kesempatan ke Madura, jangan coba bebek Sinjay aja. Bebek Songkem amat sangat layak dicoba. Ini namanya lengkap. Datang ke tempat baru yang diidamkan, dapat makanan super enak, dan makannya bareng mas bebep. Bahagia :)