Semua orang sudah tau bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai jenis rempah-rempah. Portugis dan Belanda aja dulu menjajah negara kita karena mau menguasai rempah-rempah itu kan?

Di tangan banyak orang kreatif rempah-rempah itu terolah menjadi berbagai makanan super lezat dan kaya unsur. Gak mungkin lah ada orang Indonesia yang nggak bangga dengan kekayaan kuliner yang sebegitu besar dari Sabang sampai Merauke.

Ada satu ciri khas yang gue temukan hampir sama di semua wilayah Indonesia yang pernah gue datangi. Apapun makanannya, pasti ada pelengkapnya. Sambal... Iya, sambal. Namanya boleh berbeda-beda di tiap daerah, tapi tetap aja bentuknya sambal. Dan gue beruntung sekali dibesarkan sebagai orang yang bisa melahap makanan sepedas apapun tanpa harus khawatir ada  masalah di perut. Asal tau diri aja sih kapan harus berhenti.

Beberapa tahun lalu ketika gue ada di wilayah Mamuju (sumpah gue gak tau lagi sekarang masuk di propinsi mana kabupaten ini, yang pasti di Sulawesi, pokoknya gue ingetnya jumlah propinsi 27 aja sama kaya waktu SD :p) untuk urusan pekerjaan dan mampir di sebuah warung makan. Di mejanya tersedia sepiring kecil cabe rawit kecil-kecil. Supir yang mengantar kami mengatakan, "Mbak, makin ke timur Indonesia, makin pedas cabenya. Mbak coba cabe ini dan bandingkan dengan cabai di Jawa sana". Dengan tingkat PD yang 2 juta tingkat, gw ambil satu cabe rawit sepanjang 1cm itu dan memakannya beserta sesendok nasi. Yang terjadi detik berikutnya adalah gue menenggak segelas penuh air putih. Puedes!! Sejak itu gue berusaha membuktikan teori ini, dan ternyata makin sering gue temui kebenarannya. Cabe di wilayah Timur Indonesia memang nendang banget rasanya.

Bicara tentang aneka ragam sambal rasanya gue pengen ngobrolin beberapa macam sambal yang jadi favorit gue dan harus selalu ada menyertai makanan yang gue santap. Apa aja ya?

1. Sambal terasi

Rasanya ini sambal paling standar yang hampir pasti pernah mampir di sebagian besar dapur rumah tangga di Indonesia. Gue gak gitu yakin sih dengan saudara-saudara kita di Papua, mereka makan sambal terasi nggak. Kecuali kalau mereka makan di warung yang penjualnya pendatang, pasti sudah kenal sambal ini.
Bahan dari sambal terasi ya cuma cabai, bawang merah, bawang putih, garam, sedikit gula kalau mau, dan sang bintang... Terasi.
Ada berbagai versi yang memenangkan terasi dari Cirebon, Surabaya, Lombok dan sebagainya. Buat gue mah gak penting terasi asalnya dari mana, yang penting wuenak.

2. Sambal Bawang putih

Hhhmmm... sejujurnya lidah gue langsung basah oleh liur membayangkan ini. Di rumah gue, sejak kecil, ini sambal darurat kalo nyokap lagi malas masak. Tinggal tumis sedikit cabai, ulek bersama banyak bawang putih dan garam. Sajikan bersama nasi panas dan telor dadar. Saudara-saudara sekalian, nikmat mana lagi yang mau kita dustakan.

3. Sambal Matah

 (Maaf fotonya ngambil dari internet soalnya nggak ada arsip)

Ketika mulai beranjak dewasa dan menjelajah makanan negri ini, berkenalanlah gue dengan si cantik yang bernama sambal matah ini. Matah artinya sih sebenarnya mentah. Biasanya nemu sambal ini kalau diajak makan di restoran masakan Bali. Belakangan kalau ke Bali bela-belain ke Bebek Bengil bukan karena kepengen bebeknya, tapi karena sambal matah yang menemani bebek itu enak banget. Gue bisa minta tambah satu piring sambal matah aja dan habis tuntas gue makan tanpa harus nambah nasi atau lauk lagi.
Irisan bawang merah mentah, cabe, sereh dan tetesan air jeruk nipis ini hanya butuh guyuran minyak kelapa panas untuk bisa mendapatkan rasa maksimal. Kunci kenikmatannya memang di minyak kelapa asli. Sudah beberapa kali gue makan sambal matah yang memakai minyak goreng biasa, rasanya kurang oke.

4. Sambal Mangga

Mangga muda aja udah bikin ngences sampai tumpah, apalagi ditambah sambal yang pedas. Coba bayangin ya, duduk di bawah pohon rindang, pegang Kindle, baca buku favorit, sambil nyocolin gorengan apapun ke sambal mangga. Nyaaaammm.... *elap ences*

Oiya, setelah kepedasan minumnya es pencit alias es mangga muda asam manis. Wooohhhooo..... adem deh


5. Sambal Dabu-Dabu

Gak aci deh ngomongin makanan pedas dan sambal kalo nggak ngomongin makanan Menado. Di Jakarta jagoan buat makanan Menado pasti Beautika dong ya. Gak ada yang ngalahin lah buat gue. Tapi pedasnya makanan di Beautika masih gak ada apa-apanya dibanding di tempat aslinya di Menado sana. Ampuuuunnn pedesnya sampe kulit kepala itu rasanya gatal semua biarpun baru makan sesuap. Jadi untuk yang perutnya nggak kuat banget mendingan makannya cukup sup branebon aja lah :p Nah makanan Menado nggak akan lengkap tanpa sambal dabu-dabu. Potongan tomat hijau segar, bawang merah, cabe dan irisan jeruk nipis. Ambil seujung sendok, taruh di atas sesendok nasi, tambahkan secuil lauk, suapkan ke mulut... Enak kan? Pasti lah enak!
6. Sambal colo-colo

Nah baru-baru ini gue pergi kerja di Kendari. Malam pertama gak bisa makan blas karena stres *curcol*. Baru di hari ke dua setelah lega gue bisa makan. Langsung diajak makan ikan bakar di suatu tempat bernama Alamo yang konon terkenal karena makanannya enak. Sampai di sana gue males banget rasanya makan ikan. Akhirnya 5 teman yang lain pesan ikan, gue pesan cumi dan udang. Sebelum makanan dihidangkan, pelayan mengantarkan beberapa porsi racikan sambal ke meja.

Masing-masing orang juga diberikan piring kecil untuk meracik sambal ini. Urutannya gini, ambil tomat merah dan kuning di sudut kiri dengan jumlah yang kita mau, tambahkan bawang merah mentah kalo mau (gue nggak), tuangi sambal kacang di sudut kanan, aduk. Kemudian ambil cabe rawit dan potong-potong memakai sendok sambil agak digerus supaya pedasnya merata (gue pakai 4 bibir udah jeding kepedesan). Bagian terakhir adalah memeras beberapa buah jeruk nipis dan diaduk lagi. Oiya, Kendari terkenal dengan bawang gorengnya yang enak banget (Btw, sambil nunggu gue nemu ada setoples kecil bawang goreng di meja yang memang dijadikan pelengkap. Gue cemilin aja itu bawang goreng. Habis bis bis licin satu toples penuh :)) :p ) terus gue campur sedikit bawang goreng untuk menggantikan bawang mentah yang gue gak suka. Setelah itu gue cicip untuk tau perlu tambah apa. Perfecto! That dinner was awesome dengan tambahan sambal racikan sendiri ini.

7. Sambal Roa

Gue agak ragu sebenarnya ini masuk kategori sambal beneran atau nggak mengingat dominasi ikan roa itu sendiri. Buat gue sambal roa ya udah jadi lauk tersendiri bukan kondimen seperti sambal lainnya. Coba aja deh sambal roa dimakan bareng nasi panas. Udah deh itu mah... Sebakul juga abis

8. Sambal Peda

Ini juga serupa dengan sambal roa. Sambal dari cabai hijau, terasi, bawang putih dan banyak ikan peda yang diulek halus. Campur nasi panas, telor ceplok. Maaaaaaakkkkkkk... Ada pak lurah lewat juga cuekin aja dah.

Itu memang cuma sekelumit dari berbagai jenis sambal yang ada di ranah kuliner Indonesia. Yakin banget masih banyak jenis sambal yang harus gue coba dan jelajahi.

Nyok berburu sambal...
Sebagian dari kita beruntung pernah dan masih terus menerima limpahan kasih sayang dari banyak orang. Orang tua, kakak, adik, kakek, nenek, om, tante, saudara, tetangga, teman... Tata kehidupan di negara kita yang masih menganut pola kekerabatan menempatkan kita pada lingkar dukungan sosial yang sangat kuat dari orang-orang tersebut. Terkadang ada orang-orang yang memperlakukan kita dengan sangat baik sejak kita kecil, layaknya anak mereka sendiri. Memanjakan, memberikan apa yang kita mau untuk menunjukkan sayang mereka. Setiap dari kita pasti memiliki orang di luar keluarga inti yang meninggalkan kesan begitu mendalam dikarenakan kebaikan semacam ini.

Terlahir sebagai anak pertama dari anak pertama (-nya mbah gue) dan anak perempuan dari satu-satunya anak perempuan(-nya eyang gue) yang merantau ke Jakarta membuat gue mendapat limpahan perhatian yang kadang terasa berlebih semasa kecil. Subhanallah, tidak pernah sekalipun gue merasakan yang namanya kesusahan karena selalu saja banyak tangan-tangan baik yang bersedia mengangkat gue ketika gue lemah. Segala bentuk perhatian pun dicurahkan sebagai bentuk dari dukungan dari apa yang kita kenal sebagai keluarga besar.

Berangkat dari kesadaran yang muncul ketika bokap mulai sakit, gue bertekad untuk mengembalikan budi baik yang telah ditanamkan banyak orang itu kepada gue. Sebisa mungkin sejauh kemampuan gue mencoba mengakrabi lagi hubungan keluarga besar yang sempat renggang hanya karena gue merasa sudah besar, padahal masih mencari jati diri sebagai ABG saat itu, dan mulai jarang mau diajak berkunjung ke rumah saudara.

Gue tau persis siapa saja bude-bude dan pakde-pakde, tante-tante dan om-om yang memainkan peran besar dalam memberikan gue kebahagiaan masa kecil. Kemudian datang saatnya dimana gue harus mengembalikan itu semua. Ketika usia mereka tergerus senja, gue merasa harus lebih sering mendatangi mereka sekedar duduk-duduk ngobrol sambil menikmati secangkir teh mentertawakan hal-hal di masa lalu atau mendengarkan cerita tentang perilaku bokap atau nyokap.

Sayang, gue tidak bisa melakukannya lama. Mendadak dalam dua bulan gue harus kehilangan dua pakde dan satu bude yang sedari kecil mewarnai hidup gue. Sayang, bahkan sampai detik-detik terakhir gue tidak mampu memenuhi keinginan mereka. Sayang, bahkan ketika di tengah kepayahannya pakde gue meminta sesuatu, gue cuma bisa menjanjikan membawakannya tapi ternyata tak berhasil. Entah sesal atau kesal yang gue rasa. Atau gabungan keduanya. Mungkin juga merasa tak berdaya karena tidak bisa memaksakan apa yang mereka pinta. Mungkin saja rasa ingin mengamuk karena untuk satu hal kecil saja gue tidak bisa memberikannya padahal mereka begitu rela memberikan apa yang gue minta ketika gue kecil.

Tuhan tau betapa gue ingin menjawab permintaan ketiga orang yang gue hormati ini. Tapi Tuhan juga tau mungkin belum saatnya gue memberikan apa yang mereka minta.

Selamat jalan ya pakde-pakde, dan bude. Semoga tenang di sana. Salam sama bapak. Bilangin sekali-sekali main kek ke rumah.