Kadang-kadang gue takut salah memberikan penilaian ke makanan ala negara lain. Salah satu alasannya adalah karena mungkin gue belum pernah ke negara itu dan belum merasakan rasa asli dari makanan itu. Mungkin saja rasa yang gue anggap enak di sini sebenarnya adalah masakan asing yang sudah disesuaikan dengan lidah Asia sehingga rasanya bisa lebih berterima di lidah gue. OK, anggaplah begitu ya, mungkin lidah gue terlalu awam terhadap rasa asli makanan asal negara lain, tetapi memang sudah ada standar rasa yang menurut gue bisa dianggap enak.

Malam ini gue menghabiskan malam minggu - atau sabtu malam - bersama dua orang sahabat. Yah beginilah nasib orang yang tinggal berjauhan. Mau malam minggu kek malam senin kek malam apa kek, kalo bukan lagi jatah dia di Jakarta ya gak bisa ketemuan. But hey, look at the bright side. I got to catch up with two besties.

Hari ini pilihan kegiatannya ya gue banget sih; pijet di salon, nonton bioskop dan MAKAN, dan semuanya dilakukan di tiga tempat berbeda. Ndilalah hari ini Jakarta hujan badai persis setelah gue tiba di mal tempat nonton. Sambil nonton memantau berita di Twitter yang mengatakan banjir dan macet total dimana-mana. Nyali untuk mencoba tempat makan baru di Gunawarman ini sempat menciut, tapi akhirnya tetap maju jalan dong.

Kembali ke soal rasa makanan negara lain, restoran kali ini direkomendasikan seorang teman kerja salah satu sahabat gue yang bersuamikan orang Italia. Ketika ditanya restoran Italia mana yang dapat dianggap enak makanannya, dia menganjurkan "Torino" di jalan Gunawarman ini.

Ketika tiba di sana ternyata tempat parkir penuh, dan gue ditawari layanan valet. Gue pikir valet-nya gratis karena di beberapa restoran yang parkirannya cuma secuplik semacam itu biasanya juga gratis, tinggal kasih tips ke petugasnya. Di sini ternyata bayar 15 ribu. Mmmmm... Bete sih. Bukan soal uangnya, tapi lebih ke pelayanan restoran ini yang tidak memudahkan tamu.


Ambience restoran ini memang enak sekali untuk kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman untuk ngobrol santai plus tertawa ngakak. Tempatnya sangat casual, ditata dengan sentuhan ringan, tapi cenderung "gak banyak dipikirin". Gini ya, gue adalah orang yang perhatian ke hal-hal kecil jadi ketika tata ruang udah cakep tapi TEMPAT LADA DAN GARAM di meja adalah botol yang standar banget, hhhmmm.... ada yang kurang. Nyebelin ya gue? Iya memang. Tapi gak papa dong :))

Seorang waiter menghampiri dengan sigap menyerahkan buku menu yang terbuat dari lembaran-lembaran kertas coklat dijepit ke papan kayu. Semua tulisan berjejer ke bawah, tanpa variasi, tanpa foto. Gue gak suka lihat menu tanpa foto satu pun. Too boring :))

Di setiap restoran Italia baru, gue wajib mencoba satu dari dua pilihan utama gue; Pesto atau Aglio Olio pasta. Kenapa? Pesto dan Aglio Olio adalah makanan yang sangat sederhana dan mudah untuk dibuat, dan hanya harus mengeluarkan rasa asli dari minyak zaitun, atau pesto (zaitun, daun basil, nuts, parmesan cheese). Tetapi saking sederhananya itu makanan, banyak yang gagal entah karena terlalu banyak improvisasi atau justru terlalu lemah bumbunya.

My besties knew exactly I was gonna order Pesto, and so I did. Spaghetti pesto indeed. Dan mereka bilang pasta-nya fresh baru dibuat. Sounds exciting. Yang kemudian terjadi adalah pasta gue tiba di meja dalam waktu 10 menit saja. Langsung otak gue berputar. Dari gumpalan adonan yang harus digiling minimal 4 kali agar menjadi lembaran besar dan kemudian digiling menjadi spaghetti saja itu membutuhkan waktu 7 menit, kemudian memasaknya dalam air mendidih selama 3 menit, dan memasaknya dalam bumbu pesto yang mungkin makan waktu 5 menit lagi. Gak mungkin bisa sampai di meja gue dalam waktu cuma 10 menit. Kecurigaan gue terbukti. Begitu suapan pertama, gue kecewa. Spaghetti-nya mungkin buatan sendiri tapi tidak fresh. Sepertinya sudah diseduh dan dibiarkan dingin selama beberapa jam sebelum dimasukkan ke bumbu pesto sehingga rasanya lengket di gigi. Pesto-nya pun "anyep". Gue bahkan tidak mencium bau daun basil biarpun sudah nyaris menempelkan hidung di atas tumpukan spaghetti. I might not be expert but I HAVE tasted very good pesto here and there. This one I had here was nothing compared to them. Harga 70 ribu rupiah sepertinya sia-sia. I don't mind paying a lot of money as long as the food tastes good.

My besties ordered cheese spinach raviolli and spaghetti bolognaise. As predicted after I had one spoonful of my pesto pasta, both the spinach and bolognaise got a lot of rooms for improvement. Again, this might be the real Italian taste which I never know, so my statement could be really subjective. Bolognaise... I can even produce better tasted bolognaise sauce than that. Some additional cheese could help the ravioli to be more tempting. Dan gilanya lagi, saat teman gue minta parmesan cheese, diberitahu waiter bahwa ada charge 15 ribu Rupiah. That is ridiculous. Mana ada restoran mahal gitu yang mengenakan biaya tambahan cuma buat parmesan cheese yang gak seberapa? Weird.


Oya, sebelum makan kami juga memesan semacam tumisan berbagai campuran sayuran. Enak sih tapi nggak ada yang spesial juga rasanya mengingat gue sering makan masakan ini dan sering menemukan yang jauh lebih enak.


Minuman Iced Lychee pun nggak begitu enak, could use some more ice and thicker tea, and additional lychee.



It might be me who is not used to "selera bule" on Italian food or the absence of first-hand taste on this kinda food. But I swear I can easily tell you where to get better food of this kind, less expensive, and satiates your taste bud.

In this case, gue gak akan merekomendasikan restoran ini tetapi juga gak akan bilang jangan ke sini karena toh makanannya not bad at all. Just not my cup of tea.

I guess I'll have to train my tounge better. Guess I have to go to Italy for that purpose only :))


Wherever there's a will, there's a way. Wherever there's a good food, I will be there

Sebenarnya untuk sebagian orang, makan adalah hal sepele. They eat to live, and nothing else. I eat to live too, but I enjoy good food. My tounge seems to acknowledge good tastes in much higher appreciation.

Yesterday I was oh-so exhausted after three hectic weeks. Seperti sempat gue bilang ke teman-teman, entah kenapa pekerjaan, 3 Little Angels, dan si mas seperti berlomba-lomba meminta perhatian penuh dalam kurun waktu itu. I am grateful for that, nevertheless. Memiliki kesempatan menyeimbangkan ketiganya, walaupun berakhir dengan tubuh remuk redam, memberikan kebahagiaan dan rasa syukur yang gak bisa dinilai dengan kata-kata. Lagipula, tubuh lelah bisa diperbaiki dengan pijat dua jam dan MAKAN ENAK :)

So, what we did was had a creambath, mani-padi treatment, a two-hour long massage, in which I think I fell asleep and snored, then off to dinner. I've been eyeing a corner at Kota Kasablanka's Food Society section as I saw a board depicting "Katja Piring".

Seperti kata para ahli nutrisi, jangan biarkan perut kelaparan karena ketika saatnya bertemu makanan, kita akan kalap. Dan kemarin adalah pembuktiannya. Sejak pagi hari gue cuma makan dua sendok nasi dan ayam tangkap dari Aceh. Pijat yang melancarkan darah dan berakhir di pukul 6 sore cukup membuat otak tidak bisa berpikir karena terlalu lapar. Gue bahkan bertanya tiga kali ke orang yang sama "Kita mau makan di mana??" tanpa sadar sudah mengulanginya.

Soon as we hit Kota Kasablanka, we were like half running to second floor, to Katja Piring. Took a sofa against the wall and sat down. Oooopppsss... It sank!! The sofa was somehow was too short that the dining table was my chest high. Tapi tetep aja mager - males gerak untuk pindah.

Tangan langsung menggeragas membalik-balik menu mencari apa yang akan bisa memuaskan teriakan otak dan perut yang sudah menolak untuk bersinkronisasi berpikir. First thing first, an appetizer. I chose "Roti canai dan kari ayam", which I thought could come out within 10 minutes. Ordered "Tahu Gimbal" for my second, and "Es teh tarik". My friend ordered "Rujak Pengantin" and "Nasi Lemak", and "Teh poci". Pasti pelayannya mikir, "Ini dua orang aja pesanannya banyak amat".

Food on the appetizer list may not come before main course is what I learned next. My "Tahu Gimbal" was served before the appetizer-meant-to-be "Roti Canai". What the heck, I was starving. Disajikan dalam sebuah mangkuk berisikan 6 potongan sedang tahu, beberapa potong gimbal udang (bakwan udang, kalau di Jakarta), sebutir telur rebus dibelah dua, dan kuah yang disajikan terpisah. I digged in without even praying. Sorry, dear God.

Sebenarnya memang ini bukan main course, tapi karena sudah memesan Roti Canai jadi untuk ukuran perut gue ya sudah cukup lah. Tahunya enak sekali, gimbalnya juga, kuahnya asam segar. Kalau ada satu yang kurang buat gue, mungkin rasa pedas. Sedikit saja rasa pedas akan membuat hidangan ini sempurna, apalagi dengan disajikannya semangkuk kerupuk tradisional yang bisa dicelup ke dalam kuah sebelum dimasukkan ke mulut.




 The appetizer a.k.a. Roti Canai tiba setelah gue menghabiskan setengah porsi Tahu Gimbal. I decided to finish it first before moving to the second plate.

Roti canai-nya terus terang tidak nampak menggoda. Cenderung terlalu kering dari luar. I was right. Agak terlalu crispy ternyata, sementara gue lebih suka roti canai yang agak liat agar dapat mengeruk kuah kari yang disajikan bersamanya.

Cocolan pertama ke dalam kuah kari sempat membuat mata berbinar-binar. My friends always say, "You can never lie when a dish brings you to a food orgasm. Your eyes just tell". And that's exactly what happened last night. Kuah karinya sangat kental, cenderung terlalu kental untuk padanan roti canai, tapi rasanya enak banget. Saking enaknya gue gak peduli dengan konsistensi kekentalan yang berlebihan.  Di suapan terakhir gue sempat menggigit sepotong star anise. Apa ya bahasa Indonesianya? Pantas kuah karinya harum banget.

Kedua makanan itu, ditutup dengan es teh tarik, alhamdulillah membuat perut tenang. Mata kembali terbuka, otak kembali bekerja, dunia kembali berwarna :))

My friend's Rujak Pengantin was good although not excellent. It's fresh but the idea of putting apple cuts in it was somehow off to me. She ordered Nasi Lemak, which came with the same chicken curry that I had, a piece of fish, some fried peanuts, ikan teri medan, and sambal. She did not like the curry because she just can't stand something that smells like Indian food. Your lost! :))


Total pembayaran adalah 180 ribu Rupiah karena masih ada promo diskon makanan 15%. Not bad. Will come again for sure, especially if they put additional dishes on the short list.

For some people, food means nothing more than just something they digest to feed the body. Some may have dull taste that they only know delicious and very delicious food, hence, eat everything they see before their eyes. Some others may be really intricate when it comes to currating a delicacy served before them. I'm none of them :)

I do have slightly good taste I can say which food is delicious, which is edible, and which is something you'd better not spend your money on. I choose the taste of the food it won't be just something I have to put down my throat. I can't, however, tell whether an Indonesian dish served for my dinner needs another dash of nutmeg or ginger.

One thing for sure, being a Scorpio, I'm quite emotional on most of the things I've been through. Moving on from a happy and sad event is never easy. I hold on to memories until another of same magnitude comes and replaces the old ones.

I came to Cirebon four years ago, with somebody who used to fill my whole time. He was the future of my past :) We had fun doing this and that, hanging out with friends, and of course, fattening up our already-fat tummies. Batik shopping was not forgotten.

It was a jubilant two-days and I got to satisfy my craving for nasi jamblang. Mang Dul had, and will always, been my favorit nasi jamblang. Common people's food stall where people regardless their wealth, title or fame will come and savor a dish of rice (nasi) wrapped in teak leave (jamblang). Anybody can choose any protein or veggie cuts they like from arrays of tinner plates placed to serve customers. Nothing special about the food, but it's an obligatory for anyone coming to Cirebon. In my case, I would usually take one rice, three or four protein cuts, and three or four spoon of chilis.

Having to deal with broken heart kept me from coming to Cirebon again. I just couldn't, no matter how much I wanted it. But when four years had gone by, I think enough was enough. I needed to prove I've moved on. So, when besties came out with this idea of batik shopping in Cirebon, I said I would go. Not wholeheartedly, but promised I would try.

We left Jakarta at 6 and arrived there at around 10 screaming for breakfast. Mang Dul was our first destination. It was the one located accross from the hotel where I stayed the last time. Right when I laid eyes on the hotel, memories of every second we spent there were like rolling before my eyes. This was, indeed, a trip of memory lane.

I let them dragged me to Mang Dul. I let them chatted loudly around me without being aware what exactly they were talking about. I was oblivious to a man sitting next to me smoking, which in normal situation would turn me rampage. I was still replaying the video of my old stories. Over and over again. Tears were about to fall down. I held back just because the place was packed with people. Every spoonfull of rice, everytime my mouth tasted the chili, I tasted my old tears, fears, and pain pinching my heart.The food tasted exactly the same it did four years ago. My heart was not.

I was sure besties would soon realize that I was not really "there". Luckily,  my YM beeped right on time. It was si Mas asking me where I was :) I was back to now. I was back to reality. I move on.

Anyway, it was good to have a plate of nasi jamblang Mang Dul once again. The taste did not change. The same ol' Mang Dul that I used to know. He surely knows how to maintain quality.


My breakfast: one rice, one fried eff, one chicken liver, one perkedel, one tempe and three spoonfull of chili. Cost me 12,500 only. Grinned ear to ear





When I travel with besties, food will always be our main agenda. From Mang Dul we went to batik shopping. Then, we had empal gentong (meat cooked in clear soup) Mang Darma, which was impeccable too. And of course, the famous tahu gejrot from a street vendor outside a batik boutique. It was so good, and hot.

Unfortunately, I did not get the batik I wanted. It was something very particular and so difficult to find. There were too many beautiful batiks there, though. My eyes were spoiled by the beauty of the bright colors. My skin was pampered by the soft cloth boutiques hang around the shops. If only I had all the money in the world, I'd probably buy them all. Well, I ended up buying three pieces :)


The most important part of the trip is to prove that I had moved on. Happy to know that I am moving on. Happy to know that those memories that had haunted me will soon be replaced by new ones. Happy that I could write about it now without one single tear on my cheeks.


Ketika ada mall baru dibuka di dekat rumah, dan kategori mall besar, ada perasaan yang saling bersilangan. Satu sisi senang karena dengan jarak jalan kaki pun bisa sampai ke tempat yang menyediakan semua barang yang gue butuhkan. Mind you, gue tinggal di perkampungan padat yang mau nyetir mobil ada gak bisa lebih dari 10km per jam, jadi mall ini benar-benar keliatan wah. Di sisi lain, memikirkan para pedagang kecil yang ada di wilayah sekitarnya. Mana mampu mereka bersaing dengan mall itu?

Anyway, salah satu hal yang sering gue lakukan adalah MAKAN. Pasti setiap hari kita butuh makan, dan di mall baru ini ternyata banyak restoran yang belum pernah gue temukan di tempat lain. Being food adventorous me, gue berniat mencoba semua restoran yang ada di sana. Malam itu gue memutuskan untuk mencoba makan di Little Taiwan.

Jenis makanan yang tertera di menu tidak banyak, jadi kami memutuskan memesan yang cukup standar: Udang goreng tepung, Beef goreng garing, Tahu masak saus apa gitu *lupa*, dan dua porsi cah sawi. Pesanan datang dalam waktu 15 menit. Begitu diletakkan, beginilah tampilannya.
Hhhmmm... cukup mencurigakan. Tampilannya sama sekali tidak membuat air liur menetes. Mengalir aja nggak apalagi sampai menetes. Kemudian datang sajian ke dua; Udang.
I was like, "What is this??" Tapi karena belum mencicip, masih mencoba berharap rasanya akan berbanding terbalik dengan penampilannya.
Unfortunately, my instinct was right. Kedua makanan ini sama sekali gak ada rasanya. Total bland. Hambar. Asin aja nggak. Benar-benar gak bisa dimakan. Berusaha keras memaksa diri untuk mengunyah, tapi kami berhenti di suapan ke lima. It was that bad.

Sayangnya gak sempat ambil foto hidangan tahu dan sayur yang gak kalah asal-asalan penyajiannya. Waiter berasalan, signature dish mereka adalah lamien. Ya memang kami gak pesan lamien tapi walaupun itu signature dish-nya apa berarti makanan lain boleh disajikan dengan rasa tidak enak?

Untuk minuman gue pesan milk tea. Tampilannya cukup menggemaskan.
Rasanya? Ya biasa aja. Gak berasa tehnya. Cuma jelly di dalamnya yang enak.
Teman gue pesan teh bunga ini. Enak sih dan menarik untuk dilihat. Tapi teh itu kan kita juga bisa beli di toko dan seduh sendiri di rumah.
Dengan total pembayaran 280ribu Rupiah kami merasa seperti "dirampok". Makanan-makanan itu sama sekali tidak layak saji. So, DO NOT EVER GO THERE, I'm warning you.





Semua orang pasti punya dan pernah merasakan memiliki dan berada dalam comfort zone. Gue juga. Salah satu comfort zone yang pernah gue lalui, dan kemudian tinggalkan sejak 3 tahun lalu, adalah sebuah kantor LSM internasional di wilayah Hang Lekir, Senayan. It was so comfortable because everybody was friendly, no intrigue at all, everybody was happy with their own work. Another plus point from this workplace is: EVERYBODY loves to eat. Jadi, yang masuk ke kantor ini berat badannya akan bertambah minimal 5 kilogram per tahun :)) Eh ada anomali sih, dua orang bernama Ade dan Keri *miss you, muah muah* yang tetap dengan porsi tubuh kutilangnya.

Now that everybody fled from the organization and makes career elsewhere, we try to meet every now and then. Agendanya udah pasti makan-makan dan ngobrol gak jelas. Ada satu tempat yang biasa kami datangi untuk yang berkantor di wilayah Sudirman, Thamrin dan sekitarnya.

Sere Manis, berlokasi di ujung jalan Sabang, persis di sebelah Kopitiam Oey dan di atas The Baked Goods. Sere Manis menyajikan makanan Indonesia dengan sedikit sentuhan modern tetapi masih mempertahankan gagrak tradisionalnya. Menu seperti rujak cingur, gado-gado, bubur ketan hitam, pempek (gak terlalu enak kalo yang ini), tongseng, dan semacamnya ada lengkap di sana. Porsinya cukup mengenyangkan dan harganya sangat wajar.

 Terakhir kali ke sana sudah malam sekali dan perut nggak terlalu lapar. Akhirnya memutuskan untuk hanya memesan beberapa macam cemilan. Gambar di samping ini adalah favorit gue sepanjang masa, baik di restoran ini atau di tempat lain. Tape bakar keju :) Di Sere Manis mereka menyajikannya dengan cocolan saus gula merah cair. Tidak ada yang harus dibanggakan sebenarnya kecuali bahwa mereka memilih pemasok tape yang bagus sehingga bisa mendapatkan tape yang manis. Kandungan gula tape yang manis menghasilkan lapisan karamel tipis di permukaannya ketika dibakar. Dan bagian karamel itu lah yang menurut gue bagian terenak.


Yang ini juga pasti gak asing lagi. Singkong goreng keju. Ingat nggak jaman dulu kita jajan singkong di tukang gorengan yang renyah dan mrepul pecah ketika digigit. Nah singkong goreng ini seperti itu. Mereka rebus dulu singkongnya beserta bumbu, baru kemudian digoreng. Penghitungan waktu perebusan mereka cukup tepat nih sepertinya karena singkongnya cukup renyah untuk digigit tapi tidak sampai harus hancur berjatuhan ketika disuap. Hal sepele, tapi sangat gue perhatikan.

Tiba-tiba Widya, si jago makan, menyarankan gue untuk mencoba pangsit rebusnya. Katanya a must try. Berhubung selera dia memang bisa diandalkan, nurut lah gue. Dan udah pasti dia benar. Pangsit kuahnya ini enak banget. Asli enak banget. Segar tanpa rasa lemak kaldu menempel di lidah, dengan taburan daun bawang krenyes yang menambah kenikmatan makan.

Satu lagi yang juga gue pesan malam itu untuk Gendis adalah puding mangga. Gue pikir ini bocah pasti suka puding mangga. She did like it. Tapi cuma dimakan 3 suap karena tergoda pesanan tante Widya dan om Dede. Tebak apa? PISANG GORENG!!! Dan Gendis melahap tiga potongan besar pisang goreng keju coklat dalam tempo sesingkat-singkatnya *sigh*. Gendis seperti menemukan surga dalam makanan yang I WILL NEVER EVER ORDER NOR EAT. Liat pisang aja bisa mual, apalagi mesan. Mungkin malam itu Gendis berdoa dalam hati, "Ya Tuhan, semoga lain kali makan bareng om dan tante ini lagi supaya aku bisa makan pisang goreng lagi".

Anyway, ini gambar puding mangganya. Rasanya biasa aja. Gak terlalu menarik untuk dipesan lagi di kesempatan berikutnya.
Sere Manis akan selalu jadi salah satu restoran pilihan untuk ngumpul-ngumpul. Tempatnya luas walaupun dengan dekorasi seadanya. Kursi dan meja juga nyaman untuk duduk berlama-lama. Untuk gerombolan 4L, semakin lama kami duduk, semakin panjang daftar makanan yang dipesan. That's what friends are for. To enjoy food :)








Biasanya di hari ulang tahun gue sudah akan merencanakan perjalanan ke luar kota ke tempat yang belum pernah didatangi. Tahun ini entah kenapa semangat itu menguap terhirup panasnya cuaca Jakarta. Sampai tanggal 20 Oktober sama sekali gak ada ide mau kemana, artinya I had to stay in town.

Berada di Jakarta bukan berarti gak bisa bersenang-senang. Food is always the one that cheers me up in any situation. Especially when it's shared with precious people. So, there we went to a huge new shopping mall just around the corner from my house venturing for a new restaurant. And we found it. Caprese.

Suasana di dalam restoran ini yang sebenarnya menggerakkan kaki gue untuk berbelok dan memeriksa daftar menu yang disediakan di muka. Italian food. Lovely. Comfortable sofas and cushions attracted me even more.

Salmon carpaccio
Yang kami lakukan kemudian adalah bersepakat untuk memesan makanan yang namanya paling sulkt dilafalkan dan belum pernah kami coba. Untungnya nama makanan disertai dengan penjelasan singkat bahan-bahan pembuatnya. So, here is what we ordered: Salmon carpaccio and rocket salad for appetizer. Fotonya di atas itu. Fresh and cold slices of best salmon, topped with cruchy rocket leaves and tangy cream. Dang! Mata langsung terbuka lebar. Having this good appetizer I was sure that the rest of the food will be awesome. We also ordered Cobb Salad to share. Waktu saladnya datang, lumayan terpesona oleh warnanya yang cerah menggoda menandakan kesegaran tiap bagiannya. And the dressing.. Oh wow. So yummy, tapi gak bisa nebak isinya apa.


For my main course I ordered Melanzane Parmagiana. Sebenarnya ini adalah lasagna versi vegetarian dengan lapisan terong dan saos tomat ditutup dengan lapisan keju mozarella. Biasanya gue selalu merasa gak akan gampang terpesona oleh makanan semacam ini, karena gue mampu bikin sendiri :)

Kali ini gue termakan omongan sendiri. This simple dish is oh-so-good I wanted to lick off all the sauce. Sebenarnya bumbu yang mereka pakai standar sekali, tapi fresh. Itu yang membuat rasa yang keluar begitu kuat. I enjoyed every spoonful of this portion. No hurry, only fulfillment.

My two friends decided to share a steak thinking that it would be too big to eat alone. Yeah, they're prolly on diet (boo!). Mereka pesan satu steak, yang *dengan sangat menyesal, hiks* gue lupa namanya. Udah coba cari-cari kwitansi makannya tapi gak ketemu. Rasanya sempat catat entah di mana tapi nggak ketemu juga. Anyway, ini steaknya.


Ternyata potongannya kecil banget :)) Cantik tampilannya waktu disajikan. So, this is a very soft and JUICY steak, served with to-die-for mushroom sauce, and a lot of champignon mushroom. Di bagian bawahnya ada tumpukan cacahan tomat segar yang rasanya hanya di-sautee sebentar dalam olive oil, ditaburi garam dan oregano. Lagi-lagi bumbu sederhana yang justru mengeluarkan rasa segar dari tomat dan mengimbangi rasa daging dan sauce yang untuk sebagian orang mungkin terasa "berat".


Having our eight-pack tummy filled and enjoying our drinks, we were thinking of a dessert. Tapi kapasitas perut sepertinya tidak akan bisa menampung satu dessert untuk satu orang. Let's do it Indonesian way. Pesan satu dan makan ramai-ramai :)


We decided on Mille Feuille. Nyam... Those never ending layers, and satin-smooth cream cheese that just melt in your tounge. Heaven... I didn't wanna it to end. Tapi jelas habis dong satu slice itu :)) No regret over extra calories, though.

This restaurant is VERY RECOMMENDED. The price range makes sense too. Next time you're at Kota Kasablanka, make sure you try it. Don't forget to invite me. It takes me only 10 minutes from home to go there :D

I ain't a coffee expert, I can't describe the range and variety of coffee taste. I know where to go for a good cup of coffee, nonetheless. On normal day, my reguler will be Iced Latte no sugar. And only best coffee shops can give me a fulfilling glass of Iced Latte. Anomali Coffe is one of them.

I brag to foreigners that Indonesia has the most exquisite coffee in the world. I know I brag it right. As somebody who enjoys coffee for the sake of satiating my taste bud, Anomali's selections of Wamena, Aceh Gayo and Toraja coffee guarantee enjoyment from the very first sip. Just me and my black head-scalding coffee.

Anomali coffee at Setiabudi Building and Senopati will always be my option for an afternoon with Kindle and spare time in my hand. The chicken picanta is handy too.










I was born into a "neutral" family in terms of relationship. In a sense that I did, and do, have good relationship with my parents and kid brother, but not that close to the extent that I can confide in about my ups and downs.

When I was in my mid and late 20s, I had a lot of arguments with Dad. Mostly about me being ignorant to cleaning my own room, which according to him had to be spotless. Mind you, he did all the cleaning of the house because nobody could clean it the way he would want to. I tried to negotiate and told him that there are two types of women: homemakers and moneymakers. I am the second. I said I would make enough money to pay for somebody to clean my room and he wouldn't have to worry about it. He flatly declined :) He said having somebody doing things that I can do is a waste of opportunities to learn doing something that will be useful for me in the future. At that time I thought, "Heck, effin reason".

Mom is always the middle person. She understands completely what her husband had in mind about teaching his daughter to be a homemaker, as well as she does her daughter being the generation that doesn't wanna be disturbed by all the chores. Wehenever dad inspected my messy room, she would be the one he got mad to. This slowly built a sort of barrier in my relationship with him. I kept telling him if it had been my mistake why would he be mad at her?

In most of the times, however, we could be a very warm family. I was free to tease both my parents to the level where would laugh out loud. So was my brother.

When my dad started to get sick, it was a shocking reminder to me. I made a promise that I would be better if only God would grant him recovery. I would change to be whatever he would want me to be if he recovered.

God determines otherwise. Dad passed away after three months of never recovering fully. It was short, as he always wished. He breathed his last breathe in our hands, in my bedroom, as he always wished. Leaving me histerical inside. Yes, nobody knows how deep the wound there is in me now. A gaping hole.

Now it's me and mom. I can tell you that there's nothing I won't do for her. Our relationship is as normal as a mother-daughter relationship could be. But we are closer now that we have lost the man we love.

I'm not going to waste any second to do the best for her. I know what she really wants for now that I still can't give her. And my mouth is always numb everytime I feel the urge to apologize for that.

Mom, you know I'll give you whatever you want including that one. If only I could turn back the time. I just wish you could understand why that is still not happening right now.
Hey man,

I gotta admit that you threw me dip into the pit of shit the last time. I was careless and got away in the game. You have to know, though, that this time I am not going to fall into the same whole again. I know my limits. It's your loss. Enjoy your game :)
There was time when I felt "empty". Setiap hari hidup gue cuma disibukkan cuma dengan kerja dan hura-hura. Sampai kemudian gue berada di satu titik dan bertanya, "If I die tomorrow, have I done enough here?". Yang terjadi kemudian adalah gue berusaha mengurai apa saja yang pernah gue lakukan secara pribadi dan menemukan bahwa gue belum pernah melakukan apapun yang berguna bagi orang lain.

Gue cuma bisa bilang di sini ada campur tangan Tuhan. Gimana nggak, ada banyak sekali gerakan-gerakan yang gue coba follow akunnya di twitter tapi belum ada satupun yang bisa menggerakkan hati gue untuk bergabung. Sampai akhirnya suatu hari gue lagi tidur siang, tiba-tiba terbangun entah karena apa, ambil BB, buka twitter, dan terbaca di akun @justsilly bahwa dia ingin sekali membuat komunitas yang membantu mendampingi anak-anak sakit. Gue reply untuk menanyakan bagaimana cara bergabung, kemudian tidur lagi. Empat jam kemudian mbak Silly membalas pertanyaan gue dan memberitahu bagaimana cara bergabung. Voila!

Yang terjadi kemudian adalah rentetan berbagai kejadian yang cukup menciptakan "roller coaster of emotions". Dimulai dengan berbagai meeting untuk mempersiapkan acara pertama bertajuk "Christmas Magic for Kids" di Bangsal Anak RSCM pada Desember 2011 dalam waktu hanya dua minggu sejak 3 Little Angels terbentuk, sampai kemudian diikuti dengan rencana melaksanakan kegiatan serupa di Surabaya pada Januari 2012. Tuhan pun berkenan menguji kesungguhan kami untuk berbagi dengan cara mengirimkan Auliya yang harus kami bantu, sampai akhir hayatnya.

Gue selalu percaya teman baik tidak tercipta begitu saja. Teman baik terbentuk karena kebersamaan yang panjang dan berbagi pengalaman baik buruk suka duka bersama. Teman baik, buat gue, biasanya baru terbentuk setelah berteman lebih dari tiga bulan. Anehnya hal ini tidak terjadi dengan teman-teman dari 3LA. Iya memang saat awal berkorespondensi melalui milis kami semua saling menegur sapa dengan sopan. Kata sapaan aku, saya, kamu bertebaran dimana-mana. Semuanya berkesan formal. Keformalan itu mulai pecah sejak kami mulai sering bertemu dalam rapat persiapan acara. Sudah mulai bisa saling bertukar canda dan bahkan mencela :)

Tapi yang bisa gue anggap sebagai "gong" yang memecahkan keformalan itu adalah saat seorang chef, yang kemudian menjadi anggota 3LA, membaca TL akun twitter kami semua yang sedang sibuk memperbincangkan kegantengannya :)) Gue masih ingat saat itu tawa kencang pecah di BBM group. Dan itu pertama kalinya gue gak bisa berhenti tertawa selama satu hari penuh dan ditanya oleh 6 orang tidak dikenal yang melihat gue tertawa sepanjang jalan sambil mata tidak lepas dari layar BB. It was good :))

Sejak saat itu mulailah kata-kata sopan di grup berganti dengan "kelepak ...." "lempar bakiak ke ....." dan segala macam dengan intonasi yang sama :)) Kekakuan mencair. Semua menjadi satu. Gue yang awalnya disangka sebagai orang yang diam, ternyata menjadi salah satu biang keonaran :))

Setelah kejadian sang chef, datanglah "masa-masa mendampingi Auliya". Dari mulai memindahkan Auliya ke RS Mitra Kemayoran yang memakan banyak tenaga dan emosi serta air mata, menjaga di RS selama 10 hari, sampai kemudian Auliya meninggal. Selama itu juga semua anggota yang aktif mendampingi mulai menjalin hubungan emosional, tanpa disadari. Yes, we have become a family :)

Entah dengan yang lain, tapi gue merasa anggota 3LA adalah keluarga baru gue yang sangat gue sayang. Mereka boleh anggap gue apa saja, tapi gue akan tetap anggap mereka keluarga gue. Dan ini perasaan yang sejujurnya belum pernah gue rasakan sebelumnya. Gue punya banyak sekali sahabat-sahabat baik yang sampai sekarang juga masih sangat berhubungan baik, tapi mereka "beda" dengan keluarga 3LA ini.

Gue punya harapan besar untuk 3LA. Gue ingin sekali 3LA jadi gerakan yang terus hidup sampai kapanpun itu. Gue yakin semua juga punya harapan yang sama. Semoga saja sampai kami tua nanti kami masih bisa terus bersama bersenang-senang sebagai sebuah keluarga besar yang punya tujuan sama: membantu anak-anak dari keluarga miskin yang sakit.
I relate to coffee in many ways
Whenever I need to stay up til late, coffee will be my only companion
Whenever I get bored of a meeting or a subject, coffee will be my savior
Whenever I feel like tears are about to come down my cheeks, coffee will be the one I come to for comfort


Feels like I'm drown                                       
In my own thoughts and feelings
I need a lift-me-up
To stay positive


I'm on the verge of not believing anything anymore
I'm on the verge of being devastated over something that other people may consider trivial
I'm on the verge of pouring tears over the same problem