Di sekitar awal tahun 2000 ada seorang teman di Bandung yang memang jago masak dan pernah tinggal di Jepang sehingga bisa mempelajari beberapa masakan langsung dari sumbernya kemudian membuka rumah makan mungil di wilayah Setiabudi. Orang ini yang pertama kali memaksa gue untuk makan sushi dan sashimi yang saat itu buat gue amit-amit banget untuk disentuh. Di rumah makannya ini salah satu menunya adalah Udon. Entah kenapa waktu mencicipi udon masakannya, buat gue itu adalah udon terenak yang  pernah gue dapat. Sayangnya karena kesibukannya, rumah makan itu tutup sekitar setahun kemudian. Akibatnya gue mengalami kesulitan untuk mendapatkan udon yang enak lagi.

Sampai dengan sebulan lalu gue menjalani pencarian udon yang bisa menandingi masakan teman gue itu. Hasilnya nihil. Udon yang gue makan 10 tahun lalu itu tetap udon terenak.

Nah sebulan lalu ceritanya lagi ngumpul sama pasukan 3LA di Kota Kasablanka dan dapat info di lantai bawah baru dibuka gerai udon langsung dari Jepang yang sudah terkenal. Marugamen namanya. Dengan agak skeptis karena merasa tetap tidak akan bisa mengalahkan yang dulu, gue setuju untuk makan di sana.

Menu pertama yang gue cicipi sesuai rekomendasi adalah Niku Udon, yaitu semangkok udon dengan kuah bening yang hangat. Hal yang menarik dari gerai ini adalah setiap porsi udon ditimbang supaya sesuai standarisasi, begitu juga jumlah kuah dan dagingnya yang ditakar menggunakan semacam sendok sayur. Setelah mendapatkan udon dan sebelum sampai ke kasir ada counter untuk berbagai macam gorengan. Gorengan gitu loh, as unhealthy as it always is, gue pasti ambil. Kali ini pilihannya adalah Kakiage atau sayuran iris goreng. Bakwan Jepang lah :p



Saudara-saudara sebangsa setanah air... ternyata ini adalah akhir penantian gue. Pertama kali kuah udon itu menyentuh lidah gue, rasanya seluruh titik perasa di situ melonjak-lonjak kegirangan. This is it! Ini udon yang akhirnya bisa mengalahkan masakan teman gue. Sampai terharu makannya wkwkwk... Tentu saja akhirnya mangkok pertama gue habiskan sampai tandas, sampai titik kuah terakhir.

Menu lainnya yang sudah gue coba adalah beef curry udon. Gue adalah pecinta kari. Dan gue cukup picky when it comes to curry. Marugame’s beef curry is just like the best of all Japanese resto in Jakarta.
Terlebih lagi, waktu itu gue coba gorengan lainnya yaitu beef croquette. Dang! Endang gulindang!



Minggu depannya karena udah ngidam lagi, gue ajak nyokap makan di situ. Kali ini gue coba yang mentai kaketama (mudah-mudahan nggak salah namanya) yaitu udon basah panas yang dituangi telur ikan terbang dan telur ayam dengan kuning telur yang masih mentah. Mentah? Iya. Jijik? Nggak lah wong gue suka banget telur setengah matang. Nah, sebenarnya ini asiknya. Udon yang disajikan hangat harus cepat-cepat diaduk dengan kuning telur itu. Yang terjadi kemudian adalah kuning telur menjadi matang, persis kalau kita makan bubur ayam Sukabumi J. Rasanya? Unik dan enak banget.




 I can't say enough deh tapi pokoknya kalau suka dan bisa makan udon, this one is really to die for. Selain di KoKas, Marugame ada di Gandaria City dan Mall Taman Anggrek.
Lucky me, kalo lagi pengen ya tinggal jingkring naik bajaj ke situ. Masih ada beberapa menu lain yang belum gue coba. Salah satu yang menarik yaitu udon yang disajikan dengan kuah kaldu dan bakso ayam. Hhhmmm....



Lokasi: Kota Kasablanka, lantai LG
Hiruk pikuk kesibukan Jakarta seringkali membuat penduduknya tidak lagi punya banyak waktu untuk sering berjumpa dengan teman lama. Jadwal yang sering bentrok, kemalasan menembus macet, atau kelelahan seringkali menghalangi niat.

Waktu mendadak ada teman lama -yang sudah sangat lama nggak bertemu walaupun jarak rumah kami kurang dari 5 kilometer- mengajak bertemu, tentu gue sambut dengan gembira. Niat awal bertemu hanya bertiga, tapi ternyata bertambah 3 orang dan 2 krucil lagi. Rame :D

Kali ini pilihan jatuh ke mal yang sepi, dan dekat rumah banget, supaya bisa nyaman ngobrol. Epicentrum. Ketika sampai di sana, mal ini benar-benar nampak lengang sehingga membuat leluasa memilih tempat makan.

Dan pilihannya jatuh ke Ikuze, makanan Jepang (lagi). Entah kenapa waktu melihat foto makanan di menu yang diletakkan di luar, gue merasa ini pasti enak. Masuklah kami ke situ dan langsung ganas meneliti daftar menu. We need something quick! Lapaaaarrr.....


Ronde pertama dibuka dengan Chef Tri Fushion Roll, yaitu gulungan panjang sushi dipotong menjadi 6 bagian dengan isi ketimun dan crispy tempura flour dilapisi di bagian atas dengan salmon mentah dan rumput laut. Perasaan gue soal restoran ini memang benar. Sushi pertama ini enak banget,
memberi kesan segar, sampai kemudian kami memesan 1 porsi lagi. Dan tetap enak alias konsistensi rasanya terjaga.

Oiya, sebenarnya ada Gyoza yang kami pesan sebagai makanan pembuka tapi entah kenapa kok malah datang belakangan. Gyozanya juga gue rekomendasikan. Rasanya seimbang antara gurih dan asin, dengan bumbu rendaman yang menarik. Cukup enak biarpun belum bisa menandingi buatannya pemilik blog Somamiko lah.

Menu berbagi lainnya adalah King Shake Gyu Roll yang berisikan belut, salmon matang dan bagian atas dilapisi dengan lelehan mozarella dan mayonaise. Sebenarnya cukup enak, tapi tidak sesegar rasa menu pertama.

Ternyata dua sushi roll dan satu gyoza belum cukup untuk kami. Sasaran berikutnya adalah Beef Miso Ramen dengan satu versi pedas dan satu tidak pedas. Ramen ini datang dalam keadaan, menurut gue, kurang panas mengepul. Versi pedas jauh lebih enak dari non pedas karena ternyata rasa miso (tauco) dalam kuahnya terlalu kuat sehingga membuat rasanya sangat asin ketika tidak dipadukan dengan cabai. Daging sapi dalam ramen ini enak banget. Empuk, juicy dan berbumbu sedap. Rekomen juga deh untuk yang ini.

Sebenarnya dua orang diantara kami memesan Beef Nabeyaki Udon dan Shabu Wagyu tapi dikarenakan kehebohan krucil yang disebabkan tante Dian gak sengaja mengakibatkan jarinya bocah kejepit *hiks* jadinya lupa mau gerecokin nyicip.

Sebagai penutup, sebagai pecinta ogura, gue merayu yang lain untuk share 1 cup es krim ogura. Dan, nggak rugi pesan ini. Enak juga. Tingkat kemanisannya juga rendah, sesuai selera gue. Just right.
Secara keseluruhan acara makan ini menyenangkan. Makanan enak, resto sepi, ngobrol leluasa sampai bisa ngakak, harga nggak juga bikin kantong jebol. Suatu hari pasti gue balik lagi ke sini
Minggu lalu gue ketemuan dengan beberapa teman kuliah yang bekerja di beberapa bagian Jakarta dan, kebetulan, kemudian sepakat memilih Kota Kasablanka sebagai tempatnya. Beruntung gue dong ya yang tinggal jingkring ke situ :D

Seperti biasa, gue tiba lebih dulu dan artinya gue berhak memilih tempat pertemuan. Ada satu resto yang memang sudah sejak sekitar sebulan lalu gue incar untuk didatangi; Mika.

Satu hal yang membuat gue tertarik untuk memasuki Mika adalah dekorasinya yang berkesan nyaman dengan sofa besar dan berbagai buku yang diletakkan di meja dan rak dinding sehingga membawa otak gue memikirkan enaknya menikmati waktu luang dengan duduk di situ minum kopi sambil pegang Kindle.

Sambil menunggu gue memutuskan untuk memesan Teriyaki Salad dan Iced Latte. Pelayan cukup ramah dan kembali ke meja gue untuk menghidangkan makanan dalam waktu kurang dari 10 menit. Ok, satu nilai bagus.
Waktunya mencicipi tumpukan lembaran daun rocket, lettuce dan lainnya (yang gue gak tau namanya :p) setelah disiram saus kental berwarna coklat. Oh la la... Rasa sausnya sangat segar, nggak bikin mblenger, dan merupakan perpaduan asin teriyaki dengan sedikit asam dan miso yang tipis. Dedaunan yang segar menimbulkan sensasi krenyes ketika dikunyah. Jempol.  Iced lattenya, sesuai perkiraan, nggak terlalu pekat. Cukup aja lah.



  Oiya, kemudian gue pesan Chawan Mushi yang datang dalam mangkuk agak besar sementara harganya hanya 15 Ribu. Enak sih, tapi nggak terlalu gue rekomendasikan.
Seorang teman kemudian tiba dan langsung memesan makanannya. Kelaparan berat mungkin ya :D Dengan dalih makan bareng, dia memesan Fish Katsu with Egg Mayo yang sebenarnya adalah fish and chips versi fushion, dan Salmon Tataki. Kedua makanan kembali disajikan dalam waktu kurang dari 10 menit. Fish Katsu ini rasanya sederhana banget tapi menurut gue justru itu yang membuatnya enak. Rasa lada dan garam yang seimbang, digoreng dengan kematangan yang pas, dimakan disertai dengan egg mayo. Dua jempol.

Salmon tataki disajikan dalam piring panjang berisi 4 buah sushi dengan topping salmon mentah dicampur dengan bumbu seperti mustard tapi tidak keras dan sesuatu beraroma miso. Ini....enak banget juga. Tiga jempol.


Menurut informasi pelayan, sebenarnya menu unggulan resto ini adalah Omu Rice tapi sayangnya waktu itu kami sama sekali tidak berminat makan nasi, jadi terpaksa harus dilewatkan dulu.

Setelah yang lain tiba dan sudah puas ngobrol, kami memesan satu menu penutup untuk dimakan bersama. Bukan pelit, perutnya udah begah. Pilihan jatuh pada Choco Lava dengan green tea ice cream. Hhhmmm... Gini ya.... Choco lava ini adalah menu yang gampang banget ditemui di berbagai resto. Hampir semua resto di mall punya menu ini. But, I have to tell you this: choco lava di Mika uenak buanget! Ketauan bahwa mereka pakai merek coklat yang bagus jadi walaupun sederhana, rasanya nendang. Langsung lima jempol! 

Malam itu menjadi malam yang menyenangkan, diisi dengan obrolan dari gak penting sampai penting banget, dan ketawa-ketawa gak jelas. Makanan yang enak dan memuaskan juga jadi penyumbang kebahagiaan hehehe...




Oiya, beberapa hari setelahnya gue kembali ke KoKas bareng teman-teman 3LA. Dan, gue menggiring mereka ke Mika juga hehehe... Kali ini gue pesan spagheti Pesto (you who know me well would say, "yeah right..." :p). Overall, spaghetinya al dente dan pestonya enak. Hanya saja, gue kurang suka kacang dalam pesto itu nggak digiling terlalu halus jadi masih brindilan. Tapi bukan masalah besar lah.


Waktu itu pesan minum yang namanya My Sister's Favorite yang merupakan campuran jus strawberry, syrup granadine dan sprite. Enak sih, tapi memang lidah gue nggak suka minuman manis ya.

Kesimpulannya, resto ini menyajikan makanan yang layak untuk dicicipi. Jangan berpikir enaknya makanan di sini seperti enaknya makanan yang disajikan dengan tema fine dining. This is more like comfort food yang membuat mood langsung gembira ketika suapan pertama masuk ke mulut. Gue pun suatu hari akan balik lagi, dengan mempersiapkan diri pas lapar, untuk coba Omu Rice. Barengan yuk!



So, last night we had another meeting for coming three events and this time I jumped ahead of the others and picked the place. It's a place I eyed a month ago and had read about a couple of times.

Frankly, I haven't had a striking dish lately. Don't take me wrong, I have had delicious meals but nothing beyond imagination that makes me wanna beg to come back. I'm searching for a dish that sorta gives me a punch. Perhaps, a five Michelin dish? :p

We went to The Playground at 4th floor of Plaza Indonesia extension which, according to some recommendations, serves good food. There were 12 of us so we really tasted the whole page of the menu. Except for the four-legged section.

I ordered Queyaki Chicken which is basically a grilled chicken breast served with bbq sauce and potato croquette. The serving size is okay, but it just tastes so-so. People around me ordered Fish n chips, which is very nice -yeah a restaurant of that calibre must at least serve good fish n chips, spagheti cooked in Japanese taste with lots of chili flake (this is also so-so), and a kind of spagheti bed topped with chicken katsu. Then, there's another portion of chicken breast with pesto. Being a big fan of pesto, I automatically tried it right from my friend's plate. The pesto was mixed with yoghurt which, in my opinion, leaves a sweet after taste. Not something I fancy. I prefer the classic pesto with lots and lots of basil leaves. Two of us ordered fried Dory fish wish some kind of tangy and super-hot-with-fresh-chili sauce, and another ordered chili dog.

Apparently, I would like to differ from many other people out there who have praised this restaurant. It is a good place with good vibe to hang out, but if you're looking for foods that'll make you feel that it's worth going through the nerve-wrecking and V-power-fuel consuming traffic just to eat there, it's not the place

Kayanya lagi marak banget ya si raw almond milk ini. Dan, seperti biasa, gue ikutan lah heboh pingin bikin. Bukan apa-apa, rasanya "susu" almond ini emang enak banget tapi harganya mahal. Tambah deh rasa pengen taunya untuk bikin. So simple.

Bahan:
500 gram almond
Air matang
Vanilla bean

Kain penyaring

Cara:

Rendam almond sampai semua tertutup air selama minimal 8 jam. Lebih lama lebih baik, maksimal 2 hari.

Ketika akan diolah, cuci almond agar bersih dari lendir. Pakai air matang ya

Lalu, blender almond sampai halus dibantu dengan air matang dengan ukuran menutupi tumpukan almond di dalam blender plus sekitar 150cc lagi.

Saring almond yang sudah halus dengan menggunakan kain penyaring khusus.

Tambahkan vanilla bean. Siap dikonsumsi

Cuma ada satu orang di dunia ini yang bisa bikin gue mau ngerajangin daun jeruk, kacang tanah, dan menggoreng peyek seperti ini.  I know it's worth all the sweat :D


Bahan :
Kacang tanah
Tepung beras + tepung tapioka ( 5 : 1)
Santan dari kelapa tua ( 1 btr/ 500 ml air)
Telur ( 1 btr / 1 kg tepung beras)
MSG
Air

Bumbu :
Bawang putih, kemiri, ketumbar, kencur, garam, daun jeruk purut ( semua bumbu dihaluskan kecuali daun jeruk dirajang halus)












Cara :

Pembuatan adonan. Telur dikocok lepas. Semua bumbu diencerkan dgn santan . Masukan kocokan telur ke dlm santan.  Siapkan campuran tepung (beras +tapioka) , tuangkan santan berbumbu, aduk rata. Tambahkan air hingga adonan cukup encer.

Masukkan kacang, aduk.

Penggorengan. Siapkan wajan berisi minyak goreng, panaskan. Ciduk adonan pakai irus dan  tuangkan pelan2 di pinggiran wajan. Siram2 dgn minyak panas. Dengan sendirinya adonan akan melorot ke bawah dan masuk ke minyak panas. Ulangi seterusnya hingga adonan habis. Lempengan adonan digoreng hingga matang dan kering (berwarna coklat muda). Tiriskan , siap disajikan.







Ini fotonya emang jelek, tapi rasanya enak banget suwer tekewer-kewer...



Bahan:
1 buah lidah sapi
1 ltr air
jamur merang atau champignon sesukanya
1 bawang bombay kecil, iris tipis
1 siung bawang putih, memarkan, cincang
200 ml susu putih cair
  1sdm kecap manis

2 sdm lea & perrins (worcestershire) sauce
1 sdm terigu, larutkan dalam air sedikit

2 bay leaves atau daun salam
2 sdm unsalted butter,
garam dan lada


1. Bersihkan lidah. Rebus dalam air sampai empuk, kira-kira 1.5 jam. Atau pake panci presto selama 30 menit. Bersihkan bagian luar kulit, cuci bersih 

2. Iris-iris lidah, jangan terlalu tebal. Iris jamur, bawang bombay, masukkan ke lidah, tambahkan daun salam, kecap, saus worchestershire, dan butter. Panaskan dan biarkan di atas api selama 10 menit.

3. Tambahkan susu, aduk sampai rata. Biarkan sampai mendidih, kira-kira 5 menit lagi. Tuangkan terigu yang sudah dicairkan tadi dan aduk supaya kental. Tunggu sampai  meletup dan mengental. Tambahkan lada dan garam sesuai selera. 


Hampir 7 bulan rasanya gue gak makan rendang karena satu dan lain alasan. Nah, sejak puasa baru dimulai kok sering banget lihat foto-foto rendang bertebaran. Sepertinya ada kecenderungan orang-orang yang mau praktis saat sahur atau berbuka mencari orang-orang yang berjualan rendang supaya bisa membeli dan menyimpannya di rumah.

Lihat satu gambar  masih cuek, lihat dua, tiga, empat masih cuek. Lihat lima sampai sepuluh ternyata bisa membuat air liur membasahi mulut. Gue mau rendang! Tapi bukan daging rendang yang gue mau, melainkan baby potato yang dimasak dalam kuah rendang. Nyam...

Gimana bumbu-bumbunya? Di internet sih bertebaran resep rendang tapi akan lebih yakin kalau tanya ke orang yang memang sering masak rendang. Lebih bagus lagi kalau dari daerah asalnya makanan ini. Ting! Langsung deh ketik-ketik di hp dan kirim ke Meuthia, salah satu teman yang memang tinggal dan berasal dari Padang. Dalam waktu singkat sebuah email dilayangkan. Isinya sudah pasti bumbu dan cara masak rendang yang sudah teruji :D

Ini resepnya, langsung salin rekat dari email Meuthia:

Bahan2:
Daging padat dan/atau shenkel 2kg
Santan kental dr kelapa tua 2-3kg
Cabe giling halus 300gr (ini sih gue tambahin banyak banget, tapi tetap kurang pedas)

Haluskan:
Bawang putih 8-10 bh
Bawang merah 15-18 bh
Jahe 2xjempol Kunyit 1/2jempol
Memarkan lengkuas 2xjempol
Batang serai 2bh.

Tambahan: daun kunyit 2bh, daun salam 4bh, daun jeruk 4bh, asam kandis 3-4bh

Masak santan setelah dicampur dgn semua bahan kecuali daging. Aduk teratur. Karena santan kental, probabilita pecah santan kecil sih ya. Setelah panas/mendidih masukkan daging. Aduk terus hingga daging empuk dan hingga tingkat kecoklatan yg diinginkan.
Untuk menghindari daging hancur, angkat dr kuali ketika sudah empuk. Campur dan pastikan daging panas merata di tingkat kecoklatan bumbu yang diinginkan.

Berdasar saran Meuthia juga, karena gue sukanya rendang yang kering banget karena bumbu rendang yang kering kalau dicampur nasi rasanya akan aduhai banget, ditambahkan segenggam kelapa parut yang sudah disangrai agak kering. Dan tentu saja, baby potato yang jadi sasaran ngidam kali ini ditambahkan dalam jumlah banyak.

Setelah mengaduk-aduk selama 4 jam, terciptalah rendang yang bikin ngiler. Gimana gak ngiler, selesai masak jam 1 siang, buka puasa masih 5 jam lagi. Dan baby potato itu sudah memanggil-manggil minta dicomot.

Naaahhhh.... Yang bikin sebel adalah: lupa foto hasilnya waktu sudah disajikan di piring. Asli udah kalap menjelang buka puasa jadi sibuk beresin rendang dan risol kampung pakai sambal kacang. Lupa foto :(( Cuma sempat foto waktu lagi aduk-aduk di atas kompor


Ini gambar waktu rendang baru dua jam di atas kompor. Dua jam kemudian jadinya kering dan coklat banget, tapi belum jadi hitam. Rasanya? Hadeuh... Enak banget! Resepnya Meuthia emang okeh lah :D
Ada saat seperti sekarang dimana aku hanya ingin menjadikan diriku sekecil debu
Ada saat seperti sekarang dimana aku berharap aku bisa hilang di sudut kamar
Ada saat seperti sekarang dimana aku berharap mematikan lampu dapat mematikan laraku dan bodohku
Ada saat seperti sekarang dimana aku merasa sebagai seonggok daging tak berkemampuan apapun
Selalu ada saat dimana aku memohon kepada Tuhan untuk dapat menjadi seseorang yang bisa mengetahui semua keinginanmu

Semua orang sudah tau bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai jenis rempah-rempah. Portugis dan Belanda aja dulu menjajah negara kita karena mau menguasai rempah-rempah itu kan?

Di tangan banyak orang kreatif rempah-rempah itu terolah menjadi berbagai makanan super lezat dan kaya unsur. Gak mungkin lah ada orang Indonesia yang nggak bangga dengan kekayaan kuliner yang sebegitu besar dari Sabang sampai Merauke.

Ada satu ciri khas yang gue temukan hampir sama di semua wilayah Indonesia yang pernah gue datangi. Apapun makanannya, pasti ada pelengkapnya. Sambal... Iya, sambal. Namanya boleh berbeda-beda di tiap daerah, tapi tetap aja bentuknya sambal. Dan gue beruntung sekali dibesarkan sebagai orang yang bisa melahap makanan sepedas apapun tanpa harus khawatir ada  masalah di perut. Asal tau diri aja sih kapan harus berhenti.

Beberapa tahun lalu ketika gue ada di wilayah Mamuju (sumpah gue gak tau lagi sekarang masuk di propinsi mana kabupaten ini, yang pasti di Sulawesi, pokoknya gue ingetnya jumlah propinsi 27 aja sama kaya waktu SD :p) untuk urusan pekerjaan dan mampir di sebuah warung makan. Di mejanya tersedia sepiring kecil cabe rawit kecil-kecil. Supir yang mengantar kami mengatakan, "Mbak, makin ke timur Indonesia, makin pedas cabenya. Mbak coba cabe ini dan bandingkan dengan cabai di Jawa sana". Dengan tingkat PD yang 2 juta tingkat, gw ambil satu cabe rawit sepanjang 1cm itu dan memakannya beserta sesendok nasi. Yang terjadi detik berikutnya adalah gue menenggak segelas penuh air putih. Puedes!! Sejak itu gue berusaha membuktikan teori ini, dan ternyata makin sering gue temui kebenarannya. Cabe di wilayah Timur Indonesia memang nendang banget rasanya.

Bicara tentang aneka ragam sambal rasanya gue pengen ngobrolin beberapa macam sambal yang jadi favorit gue dan harus selalu ada menyertai makanan yang gue santap. Apa aja ya?

1. Sambal terasi

Rasanya ini sambal paling standar yang hampir pasti pernah mampir di sebagian besar dapur rumah tangga di Indonesia. Gue gak gitu yakin sih dengan saudara-saudara kita di Papua, mereka makan sambal terasi nggak. Kecuali kalau mereka makan di warung yang penjualnya pendatang, pasti sudah kenal sambal ini.
Bahan dari sambal terasi ya cuma cabai, bawang merah, bawang putih, garam, sedikit gula kalau mau, dan sang bintang... Terasi.
Ada berbagai versi yang memenangkan terasi dari Cirebon, Surabaya, Lombok dan sebagainya. Buat gue mah gak penting terasi asalnya dari mana, yang penting wuenak.

2. Sambal Bawang putih

Hhhmmm... sejujurnya lidah gue langsung basah oleh liur membayangkan ini. Di rumah gue, sejak kecil, ini sambal darurat kalo nyokap lagi malas masak. Tinggal tumis sedikit cabai, ulek bersama banyak bawang putih dan garam. Sajikan bersama nasi panas dan telor dadar. Saudara-saudara sekalian, nikmat mana lagi yang mau kita dustakan.

3. Sambal Matah

 (Maaf fotonya ngambil dari internet soalnya nggak ada arsip)

Ketika mulai beranjak dewasa dan menjelajah makanan negri ini, berkenalanlah gue dengan si cantik yang bernama sambal matah ini. Matah artinya sih sebenarnya mentah. Biasanya nemu sambal ini kalau diajak makan di restoran masakan Bali. Belakangan kalau ke Bali bela-belain ke Bebek Bengil bukan karena kepengen bebeknya, tapi karena sambal matah yang menemani bebek itu enak banget. Gue bisa minta tambah satu piring sambal matah aja dan habis tuntas gue makan tanpa harus nambah nasi atau lauk lagi.
Irisan bawang merah mentah, cabe, sereh dan tetesan air jeruk nipis ini hanya butuh guyuran minyak kelapa panas untuk bisa mendapatkan rasa maksimal. Kunci kenikmatannya memang di minyak kelapa asli. Sudah beberapa kali gue makan sambal matah yang memakai minyak goreng biasa, rasanya kurang oke.

4. Sambal Mangga

Mangga muda aja udah bikin ngences sampai tumpah, apalagi ditambah sambal yang pedas. Coba bayangin ya, duduk di bawah pohon rindang, pegang Kindle, baca buku favorit, sambil nyocolin gorengan apapun ke sambal mangga. Nyaaaammm.... *elap ences*

Oiya, setelah kepedasan minumnya es pencit alias es mangga muda asam manis. Wooohhhooo..... adem deh


5. Sambal Dabu-Dabu

Gak aci deh ngomongin makanan pedas dan sambal kalo nggak ngomongin makanan Menado. Di Jakarta jagoan buat makanan Menado pasti Beautika dong ya. Gak ada yang ngalahin lah buat gue. Tapi pedasnya makanan di Beautika masih gak ada apa-apanya dibanding di tempat aslinya di Menado sana. Ampuuuunnn pedesnya sampe kulit kepala itu rasanya gatal semua biarpun baru makan sesuap. Jadi untuk yang perutnya nggak kuat banget mendingan makannya cukup sup branebon aja lah :p Nah makanan Menado nggak akan lengkap tanpa sambal dabu-dabu. Potongan tomat hijau segar, bawang merah, cabe dan irisan jeruk nipis. Ambil seujung sendok, taruh di atas sesendok nasi, tambahkan secuil lauk, suapkan ke mulut... Enak kan? Pasti lah enak!
6. Sambal colo-colo

Nah baru-baru ini gue pergi kerja di Kendari. Malam pertama gak bisa makan blas karena stres *curcol*. Baru di hari ke dua setelah lega gue bisa makan. Langsung diajak makan ikan bakar di suatu tempat bernama Alamo yang konon terkenal karena makanannya enak. Sampai di sana gue males banget rasanya makan ikan. Akhirnya 5 teman yang lain pesan ikan, gue pesan cumi dan udang. Sebelum makanan dihidangkan, pelayan mengantarkan beberapa porsi racikan sambal ke meja.

Masing-masing orang juga diberikan piring kecil untuk meracik sambal ini. Urutannya gini, ambil tomat merah dan kuning di sudut kiri dengan jumlah yang kita mau, tambahkan bawang merah mentah kalo mau (gue nggak), tuangi sambal kacang di sudut kanan, aduk. Kemudian ambil cabe rawit dan potong-potong memakai sendok sambil agak digerus supaya pedasnya merata (gue pakai 4 bibir udah jeding kepedesan). Bagian terakhir adalah memeras beberapa buah jeruk nipis dan diaduk lagi. Oiya, Kendari terkenal dengan bawang gorengnya yang enak banget (Btw, sambil nunggu gue nemu ada setoples kecil bawang goreng di meja yang memang dijadikan pelengkap. Gue cemilin aja itu bawang goreng. Habis bis bis licin satu toples penuh :)) :p ) terus gue campur sedikit bawang goreng untuk menggantikan bawang mentah yang gue gak suka. Setelah itu gue cicip untuk tau perlu tambah apa. Perfecto! That dinner was awesome dengan tambahan sambal racikan sendiri ini.

7. Sambal Roa

Gue agak ragu sebenarnya ini masuk kategori sambal beneran atau nggak mengingat dominasi ikan roa itu sendiri. Buat gue sambal roa ya udah jadi lauk tersendiri bukan kondimen seperti sambal lainnya. Coba aja deh sambal roa dimakan bareng nasi panas. Udah deh itu mah... Sebakul juga abis

8. Sambal Peda

Ini juga serupa dengan sambal roa. Sambal dari cabai hijau, terasi, bawang putih dan banyak ikan peda yang diulek halus. Campur nasi panas, telor ceplok. Maaaaaaakkkkkkk... Ada pak lurah lewat juga cuekin aja dah.

Itu memang cuma sekelumit dari berbagai jenis sambal yang ada di ranah kuliner Indonesia. Yakin banget masih banyak jenis sambal yang harus gue coba dan jelajahi.

Nyok berburu sambal...
Sebagian dari kita beruntung pernah dan masih terus menerima limpahan kasih sayang dari banyak orang. Orang tua, kakak, adik, kakek, nenek, om, tante, saudara, tetangga, teman... Tata kehidupan di negara kita yang masih menganut pola kekerabatan menempatkan kita pada lingkar dukungan sosial yang sangat kuat dari orang-orang tersebut. Terkadang ada orang-orang yang memperlakukan kita dengan sangat baik sejak kita kecil, layaknya anak mereka sendiri. Memanjakan, memberikan apa yang kita mau untuk menunjukkan sayang mereka. Setiap dari kita pasti memiliki orang di luar keluarga inti yang meninggalkan kesan begitu mendalam dikarenakan kebaikan semacam ini.

Terlahir sebagai anak pertama dari anak pertama (-nya mbah gue) dan anak perempuan dari satu-satunya anak perempuan(-nya eyang gue) yang merantau ke Jakarta membuat gue mendapat limpahan perhatian yang kadang terasa berlebih semasa kecil. Subhanallah, tidak pernah sekalipun gue merasakan yang namanya kesusahan karena selalu saja banyak tangan-tangan baik yang bersedia mengangkat gue ketika gue lemah. Segala bentuk perhatian pun dicurahkan sebagai bentuk dari dukungan dari apa yang kita kenal sebagai keluarga besar.

Berangkat dari kesadaran yang muncul ketika bokap mulai sakit, gue bertekad untuk mengembalikan budi baik yang telah ditanamkan banyak orang itu kepada gue. Sebisa mungkin sejauh kemampuan gue mencoba mengakrabi lagi hubungan keluarga besar yang sempat renggang hanya karena gue merasa sudah besar, padahal masih mencari jati diri sebagai ABG saat itu, dan mulai jarang mau diajak berkunjung ke rumah saudara.

Gue tau persis siapa saja bude-bude dan pakde-pakde, tante-tante dan om-om yang memainkan peran besar dalam memberikan gue kebahagiaan masa kecil. Kemudian datang saatnya dimana gue harus mengembalikan itu semua. Ketika usia mereka tergerus senja, gue merasa harus lebih sering mendatangi mereka sekedar duduk-duduk ngobrol sambil menikmati secangkir teh mentertawakan hal-hal di masa lalu atau mendengarkan cerita tentang perilaku bokap atau nyokap.

Sayang, gue tidak bisa melakukannya lama. Mendadak dalam dua bulan gue harus kehilangan dua pakde dan satu bude yang sedari kecil mewarnai hidup gue. Sayang, bahkan sampai detik-detik terakhir gue tidak mampu memenuhi keinginan mereka. Sayang, bahkan ketika di tengah kepayahannya pakde gue meminta sesuatu, gue cuma bisa menjanjikan membawakannya tapi ternyata tak berhasil. Entah sesal atau kesal yang gue rasa. Atau gabungan keduanya. Mungkin juga merasa tak berdaya karena tidak bisa memaksakan apa yang mereka pinta. Mungkin saja rasa ingin mengamuk karena untuk satu hal kecil saja gue tidak bisa memberikannya padahal mereka begitu rela memberikan apa yang gue minta ketika gue kecil.

Tuhan tau betapa gue ingin menjawab permintaan ketiga orang yang gue hormati ini. Tapi Tuhan juga tau mungkin belum saatnya gue memberikan apa yang mereka minta.

Selamat jalan ya pakde-pakde, dan bude. Semoga tenang di sana. Salam sama bapak. Bilangin sekali-sekali main kek ke rumah.
This is a lazy Sunday in deed and neither me or mom intended to cook any meals. Off we all went out to lunch and groceries shopping at Grand Lucky.

Dalam perjalanan menuju wilayah SCBD tiba-tiba gue teringat akan melewati wilayah Santa dimana terdapat penjual kudapan yang sudah lama nggak gue kunjungi. Sebenarnya "kisah cinta" gue dengan kudapan ini cukup aneh.

Nyokap gue berasal dari Semarang namun sayangnya waktu kecil gue jarang dibawa mudik ke sana karena eyang dari pihak nyokap meninggal waktu gue  masih SD dan kebanyakan pakde bude om tante tinggal di Jakarta. Kunjungan terakhir gue ke Semarang setahun sebelum eyang perempuan meninggal. Gue masih ingat banget pada suatu malam om gue pulang ke rumah eyang dengan membawa sebungkus besar makanan. Begitu dibuka gue melihat tumpukan tahu goreng yang diisi sesuatu berwarna hitam. Saat itu baru gue ketahui bahwa ini yang disebut sebagai tahu petis. Semua orang dewasa yang hadir saat itu berusaha membujuk gue untuk mencicipinya. Dan gue sukses muntah setelah gigitan pertama. Amis!

Ketika mulai bekerja di sebuah serikat pekerja negara kakek Sam, seringkali gue diharuskan melakukan perjalan ke Semarang. Suatu ketika, beberapa sejawat dari kantor membawa gue jalan kaki ke suatu tempat dan ternyata mereka membeli tahu petis. Awalnya tentu gue menolak mencoba karena trauma dengan pengalaman muntah, tapi bujuk rayu kelompok 4L (laper lagi laper lagi) memang dahsyat. Akhirnya dengan berat hati gue mengambil sebuah tahu dengan perjanjian kalau gue gak suka, harus ada yang bersedia menghabiskan sisanya. Ajaib, ketika gue menggigitnya, gue suka rasanya. Gigitan kedua makin suka. Gigitan ke tiga, gue secara resmi menganggap tahu petis Semarang sebagai salah satu kudapan wajib beli ketika bertandang ke sana.

Sayangnya pekerjaan gue di kantor tersebut harus berhenti dan pindah ke kantor lain yang wilayah kerjanya tidak termasuk Semarang. Bertahun-tahun gue harus menahan keinginan mendalam untuk makan tahu petis lagi. Sudah coba berbagai macam tahu petis di beberapa kota atau propinsi tapi nggak cocok. Tahu petis Semarang memang beda deh.

Suatu hari perjalanan hidup membawa seorang sahabat untuk memperkenalkan gue dengan sahabatnya ketika kuliah. Berawal dari seringnya ngopi-ngopi dengan orang ini dan istrinya, yang ternyata orang Semarang, tercetuslah kata bahwa gue merindukan tahu petis. Pernah tau pepatah pucuk dicinta ulam pun tiba? Ini persis yang gue alami. Ternyata teman ini, namanya Wieke, baru saja memulai bisnis berjualan tahu petis Semarang di mal Ambassador. Langsung pula menjanjikan membawakan beberapa buah untuk mencoba kalau gue belum sempat ke Ambas. Well, namanya juga gue, demi makanan malas pun dihadang. Besoknya gue ke Ambas khusus untuk beli tahu ini.

 Ketika itu kemasannya belum seperti ini, masih kertas coklat bertuliskan mereknya saja. Gue ingat persis gue langsung pesan tiga buah untuk dimakan di tempat. Ketika tahu-tahu itu sampai ke hadapan, rasanya gue menarik nafas panjang. This is it, the long agony of waiting is over. I'm about to savor the tahu petis again. Dan pandangan pertama gue tidak salah. Rasa tahu dan petisnya persis sis sis sis tahu petis yang ada di Semarang. Enak banget tahunya, dan petisnya juga royal sampai meleleh-leleh ke sisi tahunya. Simple pleasure...


Sejak saat itu gue mentasbihkan tahu petis yudhistira sebagai tahu petis Semarang paling otentik di Jakarta. Bukan hanya karena yang punya adalah seorang teman, tapi memang rasanya patut diberi acungan jempol. Sejak itu seringkali gue beli untuk dibawa pulang dan bokap nyokap bertanya-tanya gimana bisa anaknya yang dulu muntah karena tahu petis sekarang jadi semaniak ini. People do change :)

Hari ini gue kembali membeli sepuluh buah tahu petis diiringi pesan, petisnya yang banyak. Dan benar saja, diberikan petis sampai meleleh jatuh ke kotaknya. Dari Santa sampai SCBD gue nyetir sambil ngemil tahu ini. Anggap aja sarapan ya :D




Well, dear Wieke dan Doni, terima kasih banyak ya. Inovasi dan kerja keras kalian untuk membawa tahu petis ke Jakarta benar-benar menjadi kenikmatan tersendiri buat gue. Gak perlu jauh-jauh lagi ke Semarang, cukup ke Ambas atau Santa dan gue sudah bisa menikmati salah satu makanan to die for ini. Tujuan gue sekarang cuma satu, bikin bule-bule suka sama makanan ini. Selama ini kalau gue tawarin mereka selalu menolak karena gak tahan sama warna dan bau petisnya padahal udah gue rayu dengan bilang ini adalah makanan yang dibuat di surga :))




Hari minggu, hari untuk sarapan agak nyeleneh. Cari sesuatu yang segar-segar yuk!

Sejak tahun 2008 waktu masih kerja di kantor yang di Senayan, secara nggak sengaja gue menemukan penjual mie ayam di wilayah menteng, tepatnya di jalan yusuf adiwinata. Jadi kalau dari Kuningan jalan aja terus menuju Menteng. Kalau sudah ketemu seven eleven menteng terus aja lewatin lampu merahnya, dan jalan terus lagi sampai jalannya bercabang tiga. Ambil lajur kiri yang membelok ke arah jalan Yusuf Adiwinata. Setelah belok, lanjutkan jalan 50 meter sampai di kanan jalan ada tanda verboden. Parkir di situ. Tengoklah kanan, persis di ujung gang ada gerobak penjual mie ayam ini serta dua kursi kayu panjang sederhana dengan meja yang biasanya diisi oleh mangkok berisikan daun bawang, saus sambel cap jempol, dan pangsit goreng.

Kalau perut lapar sekali bolehlah coba pesan mie ayam, kalau cuma lapar sedikit silakan coba pangsit kuahnya. Dua-duanya rasanya maksimal, dilengkapi dengan bakso yang juga enak. Gue selalu tambah taburan daun bawang yang banyak, sedikit saus sambal, dan banyak sambal biar pedasnya nampol.

Rasa kuahnya bersih tanpa rasa mecin yang berlebihan (gue yakin tetap pakai mecin sih) dilengkapi, potongan daging ayam yang besar melegakan hati. Kenapa lega? Potongan besar ini menunjukkan jelas bahwa daging ayam yang asli ayam yang dipakai dan bukan daging tikus. Serem kan belakangan ini banyak cerita daging tikus dipakai pedagang mie ayam.

Kaliini yang gue pesan pangsit kuah aja, dengan dua butir bakso, dan makannya ditemani dua buah pangsit goreng yang juga enak banget. Percayalah sama omongan gue, mie ayam ini layak banget dicoba!

PS: Pedagang mie ayam ini buka dari jam 7 pagi sampai 12 siang. Kalau malam tempat dagangnya gantian dipakai tukang indomie dan roti bakar yang beken disebut tempat makan jalan lombok
I always know one thing; a good marketing can sell a lame product. No pun intended :)


Sejak dua tahun terakhir penduduk Jakarta banyak terbuai dengan hadirnya warung-warung steak murah yang menyajikan wagyu dengan harga miring. Salah satunya adalah Holycowsteak. Gue akui steak yang mereka sajikan cukup enak untuk kisaran harga segitu, dan gue adalah salah satu pengunjung tetap yang kesana secara rutin.

Berangkat dari kesuksesan Holycowsteak sang pemilik, pasangan Lucy Wiryono dan Afit, yang memang punya latar belakang dunia marketing yang mumpuni, membuka tempat makan baru bernama Loobie. Loobie mengedepankan menu Lobster berharga murah. Siapa yang tidak tergoda mendengar Lobster dan harga murah. Seperti trik terdahulu, mereka memanfaatkan Twitter untuk menyebarkan berita promosi. Dan tentu saja antusiasnya mencengangkan.

Gue termasuk salah satu orang yang tergoda. Setelah beberapa bulan menunggu, akhirnya kemarin berkesempatan untuk datang ke Jl, Gunawarman 32, Jaksel, markas Loobie ini. Tempatnya kecil, hanya dapat menampung 20 orang, dan waktu gue datang jam 16.45 gue adalah orang pertama. Tapi sekitar 20 menit kemudian ada dua atau tiga kelompok lagi yang datang untuk mulai mengantri sebelum Loobie mulai beroperasi di jam 17.00. Seperti yang juga sudah gue bayangkan, tempatnya bersih, ringkas, dan pelayanannya cepat serta ramah. Good job.

So, I ordered Whole Lobster for 95k with sambal matah and my friend ordered Half Lobster with Garlic sambal for 55k. I was still wondering how it would turn out because this is the cheapest I have ever paid for lobster, and calamary and rice on a plate. Oya, gue pesan ice green tea seperti biasa. Harganya 12.500 tanpa refill tapi gelasnya gede banget. Dijamin begah hehehe...

After 15 minutes, the food finally came. Two half lobster about 20-cm long and a handful of calamary, rice, and a small plate of sambal matah. Bisa tebak yang gue serang pertama kali yang mana? Hahaha... the sambal of course. I LOVE sambal matah. Kalau di Bebek Bengil bisa nambah sambalnya terus :p

First impression, sambal matah ini tidak memakai minyak kelapa yang dibuat sendiri sehingga kurang terasa medok. Ya iyalah di Jakarta susah bikin minyak kelapa, tapi kalau mau mengangkat keotentikan sambalnya, it would worth the effort :) Sambalnya juga nggak pedas sama sekali bahkan ketika gue menggigit cabe rawitnya. Hhhhmmm... ini pasti mengurangi kenikmatan. Kemudian gue nyocol sambal garlic di piring teman gue. Penampakannya lebih mirip saus ABC. Rasanya? Sudahlah, lupakan saja.

Kemudian tentu saja karena prinsip "save the best for last" gue langsung mengambil satu calamary, menyocolnya ke dalam sambal matah, dan memasukkan ke mulut. Oooo ooowww... Calamarynya alot :( Seperti sudah digoreng satu jam sebelumnya dan disajikan dalam keadaan dingin. Padahal rasa tepung pembalutnya lumayan enak tapi sayang sekali kalah oleh rasa alotnya.

Antusiasme gue mulai melemah. Sambal udah kurang, calamary kurang. Semoga lobsternya enak. With huge deal of anticipation, gue potong itu lobster dan memasukkannya ke mulut tanpa sambal karena ingin merasakan bumbunya. Sodara-sodara, anyep....

Gue nggak tau apa yang terjadi, bumbunya memang terasa sih tapi tetap anyep. Ya gak jelek-jelek amat rasanya tapi gak sesuai dengan antisipasi gue. Lobster adalah makanan yang sudah cukup enak bahkan ketika hanya dibakar dengan diolesi air garam. Biarkan juice dari dalam dagingnya membasahi permukaan dan terasa di lidah ketika disajikan. Lobster di resto ini sepertinya agak terlalu lama dibakar sampai juice nya sudah hilang semua. Sayang banget.

Dan gue tau kenapa harganya bisa murah. Dari lobster sepanjang 20cm itu hanya sekitar 10cm daging dari masing-masing sisi yang bisa dimakan. Sisanya kan hanya cangkang dan kepalanya. I'm not complaining, no. Gue tau persis berapa harga lobster yang bisa memuaskan selera gue. Dan gue salut sama pasangan ini karena berhasil membuat banyak orang ngidam makan di sini :D

Selera memang tidak dapat diperdebatkan. Banyak orang yang suka sekali Loobie dan bahkan kembali makan di sana berkali-kali. Gue? Boleh sih balik kalau diajak, tapi gak akan niat banget bela-belain ke sana hanya untuk makan lobsternya lah :)




For some reasons, I went to Singapore last week though I have to admit I don't really like the country. I am that type of a person who enjoys nature more than sky crapper buildings, reading a novel by the beach while sipping fresh coconut water rather than sitting at a high end cafe. So, when I felt I really had to go to Singapore, believe me, I had had thousands of argumentations cramming my head for while.

The moment I started walking the path near our hotel, I realized why I never enjoy being in the country, even on my third visit there. Buildings are not friendly, I never saw people smiling to others they don't know -- or even nod --, everybody always seems to be in a hurry, everythings seems cold despite the hustle and bustle and luxurious shopping malls along Orchard Road.

Let me tell you one thing, I do hate some circumstances in Jakarta like the notorious traffic or the fact that our President does nothing against violations of human rights to be the least. However, there are a lot more things that we -- I -- can be proud of. Let's compare what we and Singaporeans have.

1. Shopping malls; Come on people, how many more malls do you think we need in Jakarta? What other high end brands do you need? Name it and you get it
2. Good food; Yeah.. I'm a huge fan of Indian food and chicken rice but when you put them against gado-gado, nasi ulam, gudeg Yu Djum, sate rembiga.. They're just pale in comparisons. You just need to venture Tebet, Thamrin, Sudirman and Santa area to get whatever delicacies and cuisines they boast
3. Public transport; Alright alright.. We're way behind them with MRT. BUT I have my own defense. How big is Singapore compared to Jakarta? How much easier do you think it is to manage the transport here and there? Yes, their MRT system is way better but I'm not losing hope that we'll get it one day somehow. Anyway, when I saw a couple with their heavy groceries bags climbing up and down the stairs to take the MRT, I thank God I can park my car at nearest Carefour when I do need to shop.
4. Natural sceneries; For whatever it takes, Ancol is way better than the one beach they have. They even exported the white sands from Bintan. Why bother? And if you are as lucky as I am to get opportunities to visit other parts of Indonesia, you will easily snap your fingers and say "We have far more beautiul beaches, you bitch". No further comments required, just check some photos I posted earlier as evidence.
5. Hospitality; I have to admit that store attendants are extremely nice when they know you're from Indonesia. Why not when we are the biggest spenders that keep the country standing? But you know, I never saw that friendly smile from somebody to another person who happens to cross path with them. As snobbish as I am, I never mind smiling to somebody I bump into in a store or merely help an old lady carrying her things when she needs to. They talk to people they know, girls and boys chat among them, couples hug and kiss everywhere but something is missing. There's no air of friendliness. Just too rigid. I even consider that Singapore would be one of the lasts on my list if I were to choose where I will raise my children. I don't want them to be as individualist as those people.

I strongly believe Indonesia wins by landslide when compared to Singapore when it comes to resources. Remember, resources. We just need more committed people to bring the nation to flourish with all those resources. We just need more people who are willing to badger the government to improve services in those beautiful country sides to attract more visitors. We just need to support Jokowi on his effort to build the MRT system. We just need people who are willing to spend more money in the country rather than overseas. We do need more people who are willing to share their knowledge and expertise to others to close the gaping gaps between the haves and the don't haves. We do need a lot more but it won't stop us. It won't stop us to prove that we can be greater than them. And that we will be.




Jadi sepertinya tempat-tempat makan yang gue datangi sekarang hanya terbatas di kisaran Kota Kasablanka dan Alam Sutera. Hhhhmmm... harus  mulai menjelajah tempat-tempat baru kayanya.

Kali ini sasarannya Thai Food. Sebenarnya di kepala cuma pingin makanan yang asam pedas, tom yam misalnya, tapi ketika sampai di tempat dan melihat menu pilihan langsung berubah. Jadi begini pesanan makanannya.


Pineapple fried rice. Sudah diwanti-wanti potongan nanasnya minta dibanyakin tapi ternyata nggak banyak juga. Nanasnya terlalu manis dan lembek jadi nggak bisa menambah tekstur dan ragam rasa makanannya. Nasinya juga terlalu lembek cenderung mblenyek, padahal untuk nasi goreng harusnya nasinya agak kering kan ya? Keseluruhan rasa sebenarnya lumayan tapi nggak cukup mengundang untuk pesan lagi.





Ini lupa namanya tapi pokoknya udang garing gitu lah. Gambar di menu menggoda banget. Begitu datang ke meja kok ya begini. Makanan ini dipesan untuk menemani nasi goreng pineapple supaya ada kriuk-kriuknya. Iya sih kriuk, tapi rasanya cenderung hambar. Antara saus cocolan dan udang nggak ketemu. Satu ke blok M satu ke Sudirman. Melenceng jauh







Nah ini pesanan gue, pan fried dory and sour sauce. Gambar di menu ok banget. Pas datang? Yah sudahlah... Mana lama banget ini makanan datangnya. Gue rasa dory-nya masih beku dari kulkas jadi butuh lama untuk menggoreng. Overall, dory terlalu tipis, tepung roti yang membungkus terlalu tebal, sausnya kurang asam dan nggak ada rasa segar sama sekali. Cuma karena gue kelaparan berat akhirnya ya dihabiskan juga




Bisa tebak ini makanan apa?

Hmmmm... Ini adalah ayam pandan yang dipesan untuk jadi appetizer tapi datang ke meja setelah nasi goreng mulai disantap. Gagal pulak jadi appetizer bukan? Terus ada yang aneh deh. Bisa tebak?

Itu ayam pandan tapi mana pandannya???

Menurut waitress, restoran kehabisan daun pandan jadi tidak bisa membungkus ayamnya dengan pandan, tapi rasanya sama saja. Yeah right...

One more thing, liat nggak motif piringnya? Masa semua makanan piringnya sama gitu ya? Gak menarik banget.

Udah ah cukup sekali aja. Besok-besok coba resto lain di komplek Flavor Bliss itu aja

Bahan-bahan:

300ml limun soda alias ginger ale atau air soda
1 1/2 buah jeruk nipis (makin asam makin asik)
1/2sdm peres gula pasir
daun mint (buat gue semakin banyak semakin enak)
es batu


Blender semua bahan kecuali es batu. Tuangkan ke gelas kosong yang sudah diisi es batu.


Tarik kursi panjang, ambil novel favorit, siapin cemilan, selonjoran baca buku sambil ngemil dan minum ini.




Around a few weeks ago I went to this shopping mal on Casablanca street, Kuningan City. I had to be there just to find a quiet place where I can finish my work and coffee comes in handy. But it's not the coffee I'm gonna tell you about.

On its third floor there's a Chinese restaurant called Jala-Jala, which I've heard to be a branch of the famous Nelayan restaurant. I wasn't too hungry so I decided to have some nibbles.


 The yellow one, obviously, is an orange. Sunkist, actually. They use the fruit flesh and mix it with some kind of pudding concoction, which produces tangy yet fresh taste and succulent texture.

The green one is DURIAN pancake. Yes, durian! I wonder why people even refuse to be around this exquisite fruit. They can't stand the smell while, apparently, that's the main attraction to its fans. Durian flesh wrapped in paper-thin pancake skin and whip cream will make you go uh and ah and oh... Ultimate satisfaction guaranteed at every bite.



Ketika kemarin memasuki Kota Kasablanka, gue cukup kaget juga. Ternyata sudah hampir satu bulan tidak mendatangi mal ini. Untuk orang lain mungkin hal ini agak lebay, tapi mengingat Kota Kasablanka terletak hanya 5 menit dari rumah dan biasanya sedikit-sedikit gue ke sana, tidak ke sana selama satu bulan itu cukup mengherankan hehehe...

Kali ini kunjungan ke Kota Kasablanka didorong oleh kepentingan untuk meeting bersama beberapa orang penting yang akan membantu 3 Little Angels. But that should be another story.

Setelah meeting selesai jarum pendek jam sudah menunjuk angka 3, artinya lagi-lagi makan siang gue terlambat. Akhirnya memaksa teman-teman untuk makan dulu. Pilihan jatuh ke resto yang sudah sekitar dua bulan buka tapi belum sempat gue coba, D' Omelette.

Melihat namanya langsung terbayang sajian terbuat dari berbagai telur. Benar saja, restoran ini menyajikan beberapa sajian all-day breakfast yang secara umum terdiri dari omelet, beef bacon, sosis, buah kering manis dan beberapa variasi lainnya. Sayangnya karena kelaparan berat gue berpikir porsi sarapan itu tidak akan cukup. Akhirnya gue memilih memesan Pan fry dory fish with mushroom and sauteed vegetables. Somehow ketika membaca namanya gue merasa ikan ini akan disajikan semacam fish and chips tapi ditemani banyak sayuran. Melihat harganya gue berpikir porsinya akan cukup mengenyangkan. Here's what I got...

This fish was not fried at all. It's wrapped in the aluminium foil and steamed on a pan. Yeaaayyy... Healthier version of what I already thought a good food. Jadi ketika disajikan, aluminium foilnya itu tertutup rapat. Waiter datang meletakkan piring kemudian menggunting aluminium foil sampai terbuka, mengeluarkan aroma sedap dari berbagai rempah bumbunya. Cukup enak, penuh rasa, tapi sayang porsinya kecil :)) Buat gue, ikan dory yang begitu lembut harusnya disajikan dalam jumlah besar. Porsi ini hanya mengisi sudut kiri atas perut :D

Setelah mencicip piring sendiri tentu saja harus mencicip makanan teman dong. Remember, I always say That's What Friends Are For: To Share Good Food With. Mari kita melihat ke sisi kiri, ada apa di sana.
Sweet Waffle is what my friend is having. She said she's been consuming too much fatty food, yet, she ordered this greasy waffle :P

Harus diakui, Pancious Pancake memang menempatkan standar tinggi untuk berbagai jenis sajian wafel dan pancake di restoran. Dan wafel ini nanggung banget, jauh dari standar enak yang ada. Kurang manis, kurang lembut, kurang gurih. Yah gitu lah pokoknya..



Having not satisfied with the food on my left side, I eyed the one on the right side. You know, I ALWAYS AND WILL ALWAYS have a soft spot for fresh pasta. Ketika piring sebelah disajikan gue langsung bilang ke teman gue ini, "Damn you man, it's fresh pasta you got there". Dan dia bengong karena dia bahkan dia gak tau apa bedanya fresh pasta sama pasta yang dibuat dari pasta kering :)) Mata gue memang sangat tajam kalau melihat kilau dan kelenturan pasta yang baru selesai digiling dan langsung dicelupkan ke dalam air panas sampai al dente.




Perpaduan antara rich cream dengan aroma garlic dan fresh oregano dengan fresh salmon di piring ini benar-benar maksimal. Gue bahkan bisa menelan salmon matang yang biasanya akan membuat gue menutup hidung karena baunya. Smooth, tanpa sisa aroma amis sama sekali, langsung lumat dalam balutan sausnya. Perfecto. Among the four of us, this is surely the best dish.

I will surely come back for those all-day breakfast menu. Closest friends know how bitchy I can and will be about my eggs. They gotta be careful because I will either be their biggest fan and give high compliments if they can serve my eggs right, or the bitchiest bitch complaining to the chef :))
Ada waktu-waktu dalam kehidupan gue dimana gue merasa Alam Sutera adalah wilayah yang ingin sekali gue datangi tapi jaraknya terlalu jauh untuk dijajaki. Godaan dari berbagai tulisan yang meliput berbagai tempat wisata kuliner di seputaran Alam Sutera dan Serpong ternyata tidak begitu berhasil menggugah hati untuk mengarahkan kemudi menempuh jarak 35 kilometer dari rumah. Kedua wilayah ini hanya bisa gue sambangi kalau ada teman yang mengajak dan bersedia menyupiri.

Ternyata benar apa kata banyak orang, jarak hanya terasa jauh karena tidak terbiasa dijalani. Coba saja lewati jarak itu beberapa kali, pasti tidak terasa jauh lagi. Dan itu sudah gue buktikan. Dua bulan terakhir ini rasanya sering sekali harus bolak balik Alam Sutera untuk beberapa urusan. Dan ternyata perjalanan ke sini cukup menyenangkan karena bisa lewat tol yang (mungkin bergantung dari jam berapa lewatnya) relatif cukup lancar. Jarak 35 kilometer bisa ditempuh dalam waktu 45 menit saja.

Pagi ini gue sudah kembali duduk manis di Living World, salah satu mal di Alam Sutera, yang dulu sempat membuat gue berpikir "Kapan ya gue bisa main ke situ". Dengan perut yang meronta-ronta kelaparan dan kepala yang tidak berpikir jernih, melangkahlah gue memasuki My Kopi - O! di lantai dasar dengan harapan secangkir kopi dan sekerat roti bisa menenangkan.

Iced kopi tarik dan Kopi - O! beef sandwich menjadi pilihan. Kenapa sandwich? Karena di samping nama menu tersebut ada tanda yang menunjukkan ini adalah menu andalan. Gak salah dong kalau gue mau mencoba?

Es kopi tarik dihidangkan dalam waktu yang relatif cepat, sekitar 5 menit setelah pesanan selesai diambil oleh seorang pelayan yang sangat ramah. Ketika melihat permukaannya, entah kenapa, langsung gue yakin rasanya tidak akan senikmat yang gue harapkan. Nggak, gue bukan cenayang. Gue hanya pecinta sajian kopi di kopitiam yang biasanya selalu kental dan sarat rasa. Sementara kopi ini cenderung encer seperti kekurangan bubuk kopi dalam seduhan awalnya, dan semakin encer karena jumlah es yang cukup banyak.





Sementara itu beef sandwich yang memberi kesan seperti menu andalan pun agak mengecewakan, Disajikan di atas roti yang dipanggang dan diolesi bbq sauce, kemudian selembar lettuce, parutan wortel dan ketimun segar, beef patty yang tebal dan telur mata sapi yang menggoda mata ternyata tidak memuaskan indera pencecap. Beef patty terasa nyaris hambar, padahal cukup juicy. Andai saja ditambahkan sedikit lagi garam, lada dan cincangan halus bawang bombay atau bubuk rosemary pasti rasanya akan lebih nikmat. French fries-nya sebenarnya cukup enak, but hey, it's the sandwich that should be the rock star.

Porsinya memang besar dan sepertinya bukan untuk sarapan. Jadi kali ini kembali harus mohon ampun karena menyia-nyiakan makanan karena cuma sejumput fries dan patty serta telur mata sapi yang sanggup gue masukkan ke dalam perut. Kopinya? Hmmm... entah bisa dihabiskan atau tidak