Ungakapan ini seringkali menggema di telinga gw saat harus mencoba sesuatu yang baru, baik itu makanan, tempat belajar, rumah sakit, ataupun layanan jasa. Menurut gw, wajar jika kita membandingkan apa yang kita dapat dengan apa yang kita bayar. Jadi, gw gak akan terlalu ngamuk kalau di tempat makan yang dengan menghabiskan 30 ribu Rupiah saja kita sudah bisa kekenyangan sampai gak bisa jalan ternyata layanannya mengecewakan, ketimbang jika hal yang sama terjadi di tempat yang membuat gw harus membayar 100 ribu. Begitu juga dengan kualitas makanan. Gw gak akan gampang bilang makanan yang disajikan enak kalau memang gw harus membayar mahal. Wajar dong dengan jumlah uang yang besar gw menuntut kualitas yang lebih tinggi pula.

Beberapa hari yang lalu gw membaca ulasan tentang restoran cepat saji baru bernama 4Fingers di sebuah situs web yang mengkhususkan diri pada tulisan tentang makanan dan tempat makan. Berbekal bahasa ulasan yang menarik, dan dikarenakan lokasi yang cukup dekat yaitu di Epicentrum, berangkatlah gw kesana.

Sampai di tempat baru mengetahui ternyata restoran ini berkonsep layanan cepat saji di counter. Sebenarnya gw agak kurang suka layanan di counter seperti ini karena butuh banyak waktu untuk membaca satu per satu menu yang ada sampai akhirnya menjatuhkan pilihan. Sambil membaca nama menu, tentu saja gw sempat melihat harga dong. Kesan pertama gw: Wow! Mahal banget ya untuk ukuran resto cepat saji. Dikarenakan jiwa petualang gw dalam hal makanan, kali ini harus gw kesampingkan faktor harga. Mari kita memesan.


Pesanan pertama: Chicken Wings isi 6 potong, dengan rasa campuran: Soy garlic, spicy dan (kalau gak salah) honey. Kenapa gw pesan chicken wings? Ini menu andalan mereka. Dari ulasan di situs web tadi, dan pengantar dari staf di counter, mereka meyakinkan bahwa gw akan sangat menikmati makanan ini.





6 potong chicken wings ukuran sedang ini dihargai Rp. 44.300(an). Berarti satu potong (bagian sayap di bagi dua antara drumstick dan bagian yang mengembang itu) harganya sekitar 8 ribu. Potongan pertama yang gw makan adalah drumstick rasa soy garlic. Bayangan indah sayap itu akan meleleh di lidah membawa kenikmatan tiada tara ternyata hanya sekedar bayangan. Harus gw akui, memang mereka menggorengnya dengan sangat tepat sehingga rasanya renyah. Tapi rasanya sangat tidak enak. Hanya asin dan sedikit kecap. Masih berpikir positif, gw lanjutkan ke potongan ke dua, honey. Oh, ternyata rasanya lebih berterima dari yang pertama, tetapi tetap tidak bisa dibilang enak. Ingat, bandingkan harga dengan rasa. Potongan ke tiga adalah bagian yang spicy. Begitu masuk ke mulut, rasanya lengkap sudah penilaian gw. Menu yang mereka anggap sebagai juara ternyata sama sekali tak bisa dibanggakan.

Pesanan ke dua gw adalah chicken wrap seharga Rp 39.400(an). Standar chicken wrap yang enak dengan harga sekian buat gw adalah "Spinelli".





Kecewa dengan chicken wings, ekspetasi gw terhadap chicken wrap tidak besar. Tapi masa iya sih makanan seharga Rp 40.000 akan sangat mengecewakan? Jawabannya: benar-benar sangat mengecewakan. Waktu gw mengangkat chicken wrap untuk disuapkan, sepotong daging ayamnya jatuh. Ketika gw makan, muka gw langsung berubah. Rasanya datar. Bahkan gak terasa garam atau lada. Sewaktu gw gigit chicken wrap secara keseluruhan yang terasa di lidah gw adalah disaster. Wrap-nya gak berasa apapun (gw sering makan wrap yang sangat enak lho makanya bisa bilang ini gak enak), saus salsa tomatnya sama sekali tidak membentuk kesatuan dengan ayam, oregano dan rosemary yang ditaburkan di dalamnya. Benar-benar berpencar ke delapan arah mata angin. I was so gonna barf.


Tambahan lain yang buat gw juga agak menyebalkan adalah mejanya yang tidak kokoh. Kami mencoba mencari meja mana yang tidak goyang ketika tangan kami diletakkan diatasnya. Tidak ada. Semua sama sejenis, goyang-goyang atau miring. Mengingat ini restoran baru, gw tidak habis pikir kenapa mereka tidak memperhitungkan memakai meja yang nyaman bagi para pelanggannya.

Penilaian akhir: Untuk jumlah uang Rp. 90.000 yang gw keluarkan untuk kedua makanan tersebut dan satu botol air mineral, gw sungguh-sungguh gak akan pernah kembali lagi ke sana. Ini bukan petualangan makan yang gagal. Justru sangat berhasil. Berhasil membuat gw semakin menghargai para penjual makanan yang berjuang mempertahankan kualitas makanannya walaupun mereka hanya bisa menghargai satu porsi dengan Rp.10.000.
Lelah... capek..
Kemacetan Jakarta yang selalu menjadi momok di kalangan penghuninya rasanya semakin mempengaruhiku juga. Entah berapa persen dari hidupku yang harus dihabiskan di jalan.Belum lagi segala permasalahan yang menuntut segera dibereskan. 24 jam tidak cukup untuk orang Jakarta sepertiku nampaknya.

Minum dulu lah. Mungkin seteguk teh bisa membantu mengendurkan sedikit syaraf ketegangan di kepala. Seraya bersyukur, aku masih diberikan rezeki untuk duduk di ruangan dingin berkursi empuk dan kemudahan membayar kemewahan ini.


Itulah sepenggal ucapan dari seorang teman
yang gue pikir pandangannya lumayan terbuka
waktu kami memperbincangkan perselingkuhan

Heran ya, orang segaul dia yang kerja di LSM internasional
yang isunya nyangkut dunia perempuan biarpun gak banyak
masih bisa melontarkan pernyataan
yang buat gue diskriminatif banget

Apa perempuan harus selalu disalahkan?
Penggalan kalimat di judul diatas dilanjutkan dengan
"Perselingkuhan itu tidak akan terjadi kalau perempuannya menolak"
Jadi, kalo ada laki-laki ngajak selingkuh dan perempuan nerima, itu salahnya perempuan
Kalo ada perempuan ngajak laki selingkuh, tetap perempuannya yang disalahkan kan?
Bayangin deh,         


Laki-laki selingkuh, si so-called "wanita ketiga" yang disalahkan
Perempuan yang dirumah alias istri juga disalahkan karena gak mampu membuat suami betah (padahal belom tentu gitu)
Perempuan pake baju seksi dibilang porno aksi padahal laki-laki yang gak bisa jaga otak supaya gak ngeres
Ada anak sering sakit, perempuan disalahkan dibilang gak bisa jadi ibu yang baik karena sibuk kerja di luaran (emangnya bikin anak bisa tanpa laki ya? berarti kan laki tanggung jawab juga)
Perempuan setelah nikah "wajib" tinggal lebih banyak di rumah ngurus rumah tangganya
Laki? Bebas aja tuh kemana mereka mau
Jadi perempuan tuh apa sih? Warga negara kelas berapa?
(eh kayanya ngelantur dari topik selingkuh nih hehehehe....)


Eniwei, bukan cuma salah perempuan kalo terjadi perselingkuhan
Kenapa gak laki-lakinya disalahkan?
Kenapa harus perempuan yang TAHAN DIRI gak menyambut ajakan selingkuh
instead of laki-laki yang menahan diri supaya gak ngajak selingkuh
Terus terang aja, gue sedih banget waktu denger dia ngomong gitu
Sediiiiiihhhhhhhhhh banget
Ternyata.... perempuan pun masih sering menyalahkan kaumnya
Mencoba menjadi yang paling benar atau mencari pembenaran sih?

Dua tahun lalu di saat sedang maraknya kasus TKI yang ditelantarkan di Malaysia, lagu Rasa Sayange diaku sebagai lagu mereka, Ambalat diperebutkan, gw memutuskan untuk tidak akan menginjakkan kaki di Malaysia jika tidak sangat dibutuhkan. Ditambah lagi seorang warga negaranya pernah menyakiti hatiku.. Huh! Hehehe ini sih cerita lama ya.
2 bulan lalu kelompok bermain gw yang menamakan dirinya Cemenerz memutuskan untuk melakukan liburan singkat. Dari berbagai pilihan, gw kalah suara. Pilihan jatuh ke KL. Mengingat gw selalu mengalah, ya udah lah ikut aja.

Entah kenapa akhirnya perjalanan ini menjadi menyenangkan. Gw yang tadinya berangkat dengan setengah hati lama-kelamaan bisa menikmati. Mungkin juga karena sudah berdamai dengan orang yang pernah menyakiti gw itu dan malah dia yang selalu memandu kemana aja gw harus pergi. Biarpun dengan bodohnya kami gak bisa mencari waktu yang tepat untuk ketemu. Empat hari di KL dan gak bisa ketemuan?? Haduuuhhh bodohnya gw :P

Hari terakhir di sana kami harus menunggu flight yang memang jadwalnya malam sekali. Kelelahan dan kebosanan mengunjungi mal membuat kebingungan apa lagi yang mau dilakukan. Tapi ternyata toh, seperti juga kalau mati gaya di Jakarta, kami terpuruk di sebuah mal juga. Kali ini letaknya hanya di seberang hotel.
Saat duduk-duduk di food court-nya (oiya, ini mal ada Sogo-nya tapi penampakannya kelas Ramayana doang loh) gw mencoba makanan cemilan yang bernama Popiah. Gw tau sih Popiah ini rasanya mirip lumpia semarang. Yang membedakan saat itu adalah di dalamnya dicampurkan semacam kremes jadi memang cukup menggoda.

Singkat kata gw jatuh cinta kepada sang Popiah. Emang enak banget. Ndilalah tiga hari lalu kok ya gw ngidam (inget ya, bahasa Indonesia-nya ngidam, bukan nyidam) si Popiah. Mau beli dimana coba? Akhirnya nekat nyoba bikin dengan liat-liat resep di dunia maya ini.

Hasilnya? Kulit popiahnya terlalu tebal *hiks* dan gak bisa melipat dengan sempurna karena penggorengan yang gw punya terlalu kecil diameternya sehingga hanya bisa membuat kulit lingkaran kecil pula. Rasa isinya sih gak buruk sama sekali, sangat bisa dimakan, tapi tampilannya jadi berantakan karena gak bisa dilipat itu.
Ya sudahlah, yang penting gak penasaran lagi toh mencoba buat popiah. Hati senang, lidah puas, dan yang penting… gak harus jauh-jauh ke KL atau Singapura  :)


*taken from my FB notes*


Inilah gw dengan segala kecerewatan dan keluhan gw mulai kembali beraksi. Mohon pengertian bagi yang membacanya.

Begini ceritanya. Teman-teman dekat gw mungkin seringkali mendengar gw begitu mencintai Papua. Alhamdulillah sampai dengan perjalanan yang lalu, total sudah 7 kali gw ke Papua. Tuhan memang baik, permintaan gw untuk bisa menginjakkan kaki di Papua dikabulkan, bahkan diulang sampai berkali-kali. Biarpun gw merasa gak sanggup kalau harus hidup di Papua untuk lebih dari 3 minggu, gw tetap jatuh cinta pada keindahan alamnya, kepolosan penghuninya, kejujuran mereka, dan banyak lagi.

Dari 7 kali perjalanan ke Papua, 6 kali gw lakukan dengan menaiki maskapai penerbangan nasional yang biasanya pesawatnya berbadan putih dengan sayap berwarna biru  memakai nama sebuah burung perkasa dengan rute Jakarta-Makassar-Jayapura pp atau Jakarta-Menado dan disambung dengan pesawat lain sesuai kebutuhan ke daerah mana. Kebetulan baru satu kali ini gw harus pulang naik maskapai yang pesawatnya juga berbadan putih dengan tulisan  berwarna merah menyala menyebutkan nama perusahaan yang dalam bahasa Indonesia berarti raja hutan. Maskapai yang pertama, tidak diragukan lagi selalu memberikan pelayanan yang terbaik jika dibandingkan dengan yang lain. Maskapai yang kedua, mmm.... gw gak keberatan untuk naik kok tapi kalau masih bisa dihindari ya dihindari :)

Hari itu kami melakukan perjalanan bertiga, satu perempuan tukang ngakak, satu laki-laki jawa kalem tapi kalo ngomong bisa bikin si perempuan ngakak sampai nangis, dan seorang Inggris berkewarganegaraan Australia yang dari jauh nampak seperti Sinterklas dan hobi tertawa lepas, duduk sejajar sambil berkelakar dan tertawa terbahak-bahak menunggu waktu lepas landas. Seperti biasa, sebelum lepas landas, petugas pesawat (purser) akan membuat pengumuman persiapan keberangkatan. Biasanya gw lumayan hafal kata-katanya, tetapi kali ini ada yang cukup berbeda dan mengejutkan. Begini kata-katanya:

"....................................... (kata-kata yang biasa). (lanjut...) Sebelum keberangkatan kami peringatkan bahwa Bandara Sentani Jayapura adalah salah satu bandara dengan landasan terburuk sehingga kita akan mengalami perjalanan menuju lepas landas yang tidak mulus seperti mengendarai kuda......."

Waktu mendengar itu gw dan teman yang orang Jawa ini langsung berpandang-pandangan. WTF?? Tetapi kemudian kami tertawa kencang. Sepertinya tidak banyak orang yang menyadari apa yang diucapkan sang purser. Untuk mencoba meyakinkan diri, gw tanya "Mas, bener kan dia ngomong kaya naik kuda? Kok ngenyek yak?" Teman ini menjawab, "Iya bener kok Yan" Gw langsung mikir, masa iya sih dia sebutin kata "terburuk"? Sampai tiba waktunya pengumuman diulang dalam bahasa Inggris.

"..........................As we may need to inform you that Sentani Airport of Jayapura is one of the WORST airports and we would taxi to the take off position like riding a horse........."

Si bule sebelah gw langsung ngakak kenceng banget. Mind you, bahasa Indonesia dia lancar jadi di awal pengumuman tadi dia sebenarnya udah ngerti tapi masih belum yakin. Begitu dia dengar kalimat "...riding a horse" ketawanya gak bisa ditahan lagi, sampai dia tepuk tangan. Gw pun ikut ngakak, tapi ngakak bete.

Menurut gw, untuk perusahaan maskapai sebesar si raja hutan ini, bisa lah mereka mengeluarkan uang untuk mengemas kata-kata yang disampaikan awak kabin kepada penumpang. Yang diungkapkan memang jujur, kami memang merasa seperti naik kuda waktu menuju ke posisi lepas landas (dan kami ngakak lagi karena merasakan hal yang benar disampaikan) tetapi apa tidak ada cara lain untuk menyampaikan ketimbang harus mengucapkan "seperti naik kuda"?
Sepertinya tidak kedengaran profesional ya kata-kata yang mereka pakai.

Di luar dari itu, banyak penumpang pesawat yang berasal dari negara lain. Bayangkan apa yang ada di pikiran mereka saat sebuah masakapai besar "menghina" bandara tersebut dengan cara yang menurut gw sangat bodoh dan hanya dikarenakan mereka ambil gampang sehingga tidak serius meminta seseorang untuk mengemas pemilihan kata-katanya.

I wish ada orang yang mau hire gw sebagai image consultant maskapai itu. Sumpah gw akan rombak dari customer service sampai tatanan rambut awak kabin dan gaya mereka yang sok malas-malasan itu. Tapi satu hal yang paling penting gw lakukan adalah: rubah kata-kata penghinaan itu!!
Kata-kata di atas pasti sering kita dengar dan alami, seperti juga yang baru terjadi pada gw dan seorang teman malam ini.Ceritanya, dengan maraknya penggunaan media sosial banyak sekali orang yang memanfaatkannya guna mempromosikan usaha seperti misalnya (yang terbanyak) rumah makan. Salah satu dari yang sangat berhasil memanfaatkan media sosial (Twitter dan Facebook) ini adalah sebuah restoran (layak disebut restoran nggak ya?) yang mengkhususkan diri pada steak. Sebagai orang yang selalu mengikuti perkembangan hal semacam itu, tentulah gw memaksakan diri untuk mencobanya.


Waktu pertama kali mencoba, gw memilih untuk memesan daging yang biasa. Kenapa? Kalo langsung pesan wagyu dan rasanya enak ya wajar dong. Namanya juga wagyu. Tapi kalau mereka berhasil memasak daging biasa dengan enak, bisa dipastikan wagyunya akan mencengangkan. Gw masih sangat ingat, pesanan pertama gw adalah NZ Rib Eye, well done.





Here's the issue why I asked for well done. The best way to enjoy a steak is when it is cooked medium or medium well done where it is cooked outside but still a bit pinkish inside. This way, you will still get the juice out of the meat. Saat itu gw memilih well done lagi-lagi dengan alasan untuk kepentingan perbandingan. Kalau well done aja mereka bisa bikin enak, medium atau medium well done akan lebih enak.

Dalam waktu 20 menit datanglah steak itu dengan saus BBBQ sesuai permintaan gw. Gw gak akan cerita secara detil gimana rasanya karena fokus dari tulisan itu bukan di situ. Intinya sih enak banget - ingat, ini berdasar selera gw - dan gw berjanji akan kembali. Janji ini terbukti gw penuhi dengan beberapa kunjungan berikutnya. Dan masih pengen lagi...


Secara gw punya teman yang sepertinya lidahnya lumayan sama tajamnya dalam menilai makanan, gw coba minta dia untuk makan di restoran yang sama. Sayangnya karena punya bocah lucu yang gak suka makan daging, permintaan ini baru bisa dipenuhi delapan bulan kemudian. Sebelum datang ke restoran yang ini, dua hari sebelumnya mereka sekeluarga pergi ke restoran steak yang sudah sangat melegenda di ibukota Jakarta ini. Lebay? Sepertinya nggak. Coba kalau ada yang tanya, "Apa restoran steak terkenal di Cipete Raya?" Gw yakin hampir sebagian besar warga Jakarta kelas menengah pasti tau jawabannya. Dulu pun gw sering bela-belain kesana demi bisa makan steak enak dengan harga murah.




Beda kan tampilannya? Ya iyalah jelas wong beda restoran kok :)


Setelah percobaan pertama makan di restoran yang beken karena sosial media ini, sang teman melaporkan hasilnya. Isinya: kaya karet. Hah? Kok bisa padahal dia memesan NZ rib eye juga? Pembicaraan berlanjut ke bagaimana kami masing-masing menilai rasa steak di kedua restoran tersebut. Restoran pertama, menurut sang teman, lebih bergaya Eropa, dimana saus steak disajikan terpisah dalam mangkuk kecil dan dengan side dish berupa tumis buncis dan daging steak dibumbui secara minimalis namun dapat terlihat bumbu apa saja yang ditaburkan di situ. Secara pribadi, gw bisa merasakan lada, garam, rosemarry, dan satu bumbu yang sampai sekarang belum bisa tertebak apa. Pemberian bumbu yang minimalis menghasilkan rasa yang ringan, yang buat gw memberikan kesempatan lebih besar kepada lidah untuk merasakan tekstur daging setiap lapisannya yang juicy itu. Saus yang bisa dicocol saja ternyata memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk meraba-raba sampai sebanyak apa saus yang mereka butuhkan untuk mencapai kunyahan terenak dari sepotong daging seberat 200 gram itu. Hasilnya buat gw adalah: Perfecto. Love it.

Masih atas pendapat gw, restoran steak legendaris itu sekarang sudah sedikit berubah. Ya memang harus diakui rasanya tetap enak untuk harga yang dibayarkan. Tetapi harus diingat juga, hanya di Cipete yang bisa mempertahankan rasanya. Coba ke cabangnya yang di Tebet. Minta ampun deh... Terakhir gw makan yang di Cipete sekitar 5 bulan lalu. Seperti biasa kalau di Cipete gw akan pesan NZ rib eye karena di situ satu-satunya tempat resto itu di mana gw masih bisa merasakan irisan daging yang lurus. Serat dagingnya tidak terganggu dengan potongan yang asal atau terlalu sering dibolak balik saat dipanggang. Tetapi tetap saja steak di situ, lagi-lagi buat gw, agak kurang bertekstur. Rasanya di mulut seperti mengulum sesuatu yang sulit ditebak kalau mata kita ditutup dan tidak tau apa yang disuapkan ke mulut. Itu di resto pusatnya, apalagi di cabangnya. Makanya kalau makan di cabang gw cuma makan ikan kakap. Satu lagi, peletakan sayurannya itu lho... Berantakan banget. Bisa menghilangkan appetite :)

Sementara itu, teman gw berpendapat yang benar benar terbalik. Dia tidak begitu menyukai restoran berbasis media sosial itu, tetapi sangat mencintai sang resto legendaris. Kami sempat bicara selama 10 menit mengenai resto ini begini resto itu begitu sampai kemudian gw tersadar. Selera memang tidak untuk diperdebatkan. Mau berantem seperti apapun tidak akan ada jawaban yang pasti kalau kita sudah membicarakan selera. Toh selama ini untuk banyak makanan lainnya kami seringkali setuju akan rasanya. Tetapi kali ini terpaksa kami harus mengakui bahwa kami berbeda selera :))

Penyelesaiannya? Gw bilang tadi, berarti kedudukan 1:1 untuk resto pilihan gw dan pilihan dia. Berarti kami harus bersama-sama mendatangi satu resto steak lainnya untuk menentukan apakah kami bisa menyetujui definisi dari steak enak. Restoran yang mana? Tentu saja yang menyajikan steak terbaik menurut gw. Curang ya :)) Restoran ini ada di lantai dua gedung perbelanjaan tertua di Jakarta (Pusat), di pinggir jalan utama yang sangat terkenal (halah sok rahasia :p). Resto ini langganan para orang asing yang bekerja di Jakarta, sehingga seringkali dianggap sebagai tempat yang tepat kalau mau cari pacar bule :))


Well, I'm really looking forward to the momen when I can drag this lady and her daughter to Central Jakarta and enjoy a piece of grilled meat together. 1 porsi jelas harus berbagi karena besaaaarrrrr sekali ukurannya.
Setelah satu kelas Body Pump dan berjalan di treadmill yang cukup melelahkan, rasanya cukup pantas buat gw menghadiahi tubuh ini dengan makanan yang memuaskan hati. Pada dasarnya gw jarang sekali memilih tempat makan kalau sedang bersama teman-teman gym karena berfikir " They choose carefully what they eat while I can eat almost anything. Well, except bananas". Begitu juga siang ini gw membiarkan seorang teman memilih di mana kami akan makan. Pilihan jatuh ke Food Hall. Good choice.

Awalnya gw berniat makan steak. Yeah, the carnivore inside me was wriggling and shouting for a piece of steak. Sampai di sana ternyata tinggal satu pilihan daging, sirloin, yang gw gak begitu suka. Akhirnya pilihan dijatuhkan pada 300 gram ikan Dori yang akan dipanggang, dan kemudian disajikan dengan saus jamur serta carrot gratin.

It was 3 PM and we were way behind our lunch schedule and I always say, don't mess up with a hungry woman (well, hungry me to be exact). Gw bilang sama tukang masaknya untuk mendahulukan carrot gratin karena gw amat sangat lapar, toh mereka tinggal menghangatkan. Memang sih mereka mendahulukan, tetapi itu pun membutuhkan waktu 15 menit dan ternyata datang ke hadapan gw dalam keadaan setengah dingin. Well, harusnya mereka tau ya berapa suhu oven yang dibutuhkan untuk menghangatkan makanan itu. *Kecewa no. 1*

10 menit kemudian datanglah ikan dori panggang kami. Penampakannya sangat mulus dengan taburan lada hitam. Nyaamm... air liur mengalir. Sayangnya ada masalah kecil. Teman gw yang memesan tumisan sayur untuk dimakan beserta ikannya agak dongkol karena pesanannya terlupa. Harus menunggu 5 menit lagi aja dong sampai sayurnya matang.

Begitu tiba si ikan dori, ternyata rasanya asssiiinnnn banget. Halah.... Perut lapar, nunggu lama, makanan gak enak. What can I say? Gondok deh.

Maybe next time harus bilang ke tukang masak untuk hati-hati dengan garamnya ya.