Torino, when expectations went sour

Kadang-kadang gue takut salah memberikan penilaian ke makanan ala negara lain. Salah satu alasannya adalah karena mungkin gue belum pernah ke negara itu dan belum merasakan rasa asli dari makanan itu. Mungkin saja rasa yang gue anggap enak di sini sebenarnya adalah masakan asing yang sudah disesuaikan dengan lidah Asia sehingga rasanya bisa lebih berterima di lidah gue. OK, anggaplah begitu ya, mungkin lidah gue terlalu awam terhadap rasa asli makanan asal negara lain, tetapi memang sudah ada standar rasa yang menurut gue bisa dianggap enak.

Malam ini gue menghabiskan malam minggu - atau sabtu malam - bersama dua orang sahabat. Yah beginilah nasib orang yang tinggal berjauhan. Mau malam minggu kek malam senin kek malam apa kek, kalo bukan lagi jatah dia di Jakarta ya gak bisa ketemuan. But hey, look at the bright side. I got to catch up with two besties.

Hari ini pilihan kegiatannya ya gue banget sih; pijet di salon, nonton bioskop dan MAKAN, dan semuanya dilakukan di tiga tempat berbeda. Ndilalah hari ini Jakarta hujan badai persis setelah gue tiba di mal tempat nonton. Sambil nonton memantau berita di Twitter yang mengatakan banjir dan macet total dimana-mana. Nyali untuk mencoba tempat makan baru di Gunawarman ini sempat menciut, tapi akhirnya tetap maju jalan dong.

Kembali ke soal rasa makanan negara lain, restoran kali ini direkomendasikan seorang teman kerja salah satu sahabat gue yang bersuamikan orang Italia. Ketika ditanya restoran Italia mana yang dapat dianggap enak makanannya, dia menganjurkan "Torino" di jalan Gunawarman ini.

Ketika tiba di sana ternyata tempat parkir penuh, dan gue ditawari layanan valet. Gue pikir valet-nya gratis karena di beberapa restoran yang parkirannya cuma secuplik semacam itu biasanya juga gratis, tinggal kasih tips ke petugasnya. Di sini ternyata bayar 15 ribu. Mmmmm... Bete sih. Bukan soal uangnya, tapi lebih ke pelayanan restoran ini yang tidak memudahkan tamu.


Ambience restoran ini memang enak sekali untuk kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman untuk ngobrol santai plus tertawa ngakak. Tempatnya sangat casual, ditata dengan sentuhan ringan, tapi cenderung "gak banyak dipikirin". Gini ya, gue adalah orang yang perhatian ke hal-hal kecil jadi ketika tata ruang udah cakep tapi TEMPAT LADA DAN GARAM di meja adalah botol yang standar banget, hhhmmm.... ada yang kurang. Nyebelin ya gue? Iya memang. Tapi gak papa dong :))

Seorang waiter menghampiri dengan sigap menyerahkan buku menu yang terbuat dari lembaran-lembaran kertas coklat dijepit ke papan kayu. Semua tulisan berjejer ke bawah, tanpa variasi, tanpa foto. Gue gak suka lihat menu tanpa foto satu pun. Too boring :))

Di setiap restoran Italia baru, gue wajib mencoba satu dari dua pilihan utama gue; Pesto atau Aglio Olio pasta. Kenapa? Pesto dan Aglio Olio adalah makanan yang sangat sederhana dan mudah untuk dibuat, dan hanya harus mengeluarkan rasa asli dari minyak zaitun, atau pesto (zaitun, daun basil, nuts, parmesan cheese). Tetapi saking sederhananya itu makanan, banyak yang gagal entah karena terlalu banyak improvisasi atau justru terlalu lemah bumbunya.

My besties knew exactly I was gonna order Pesto, and so I did. Spaghetti pesto indeed. Dan mereka bilang pasta-nya fresh baru dibuat. Sounds exciting. Yang kemudian terjadi adalah pasta gue tiba di meja dalam waktu 10 menit saja. Langsung otak gue berputar. Dari gumpalan adonan yang harus digiling minimal 4 kali agar menjadi lembaran besar dan kemudian digiling menjadi spaghetti saja itu membutuhkan waktu 7 menit, kemudian memasaknya dalam air mendidih selama 3 menit, dan memasaknya dalam bumbu pesto yang mungkin makan waktu 5 menit lagi. Gak mungkin bisa sampai di meja gue dalam waktu cuma 10 menit. Kecurigaan gue terbukti. Begitu suapan pertama, gue kecewa. Spaghetti-nya mungkin buatan sendiri tapi tidak fresh. Sepertinya sudah diseduh dan dibiarkan dingin selama beberapa jam sebelum dimasukkan ke bumbu pesto sehingga rasanya lengket di gigi. Pesto-nya pun "anyep". Gue bahkan tidak mencium bau daun basil biarpun sudah nyaris menempelkan hidung di atas tumpukan spaghetti. I might not be expert but I HAVE tasted very good pesto here and there. This one I had here was nothing compared to them. Harga 70 ribu rupiah sepertinya sia-sia. I don't mind paying a lot of money as long as the food tastes good.

My besties ordered cheese spinach raviolli and spaghetti bolognaise. As predicted after I had one spoonful of my pesto pasta, both the spinach and bolognaise got a lot of rooms for improvement. Again, this might be the real Italian taste which I never know, so my statement could be really subjective. Bolognaise... I can even produce better tasted bolognaise sauce than that. Some additional cheese could help the ravioli to be more tempting. Dan gilanya lagi, saat teman gue minta parmesan cheese, diberitahu waiter bahwa ada charge 15 ribu Rupiah. That is ridiculous. Mana ada restoran mahal gitu yang mengenakan biaya tambahan cuma buat parmesan cheese yang gak seberapa? Weird.


Oya, sebelum makan kami juga memesan semacam tumisan berbagai campuran sayuran. Enak sih tapi nggak ada yang spesial juga rasanya mengingat gue sering makan masakan ini dan sering menemukan yang jauh lebih enak.


Minuman Iced Lychee pun nggak begitu enak, could use some more ice and thicker tea, and additional lychee.



It might be me who is not used to "selera bule" on Italian food or the absence of first-hand taste on this kinda food. But I swear I can easily tell you where to get better food of this kind, less expensive, and satiates your taste bud.

In this case, gue gak akan merekomendasikan restoran ini tetapi juga gak akan bilang jangan ke sini karena toh makanannya not bad at all. Just not my cup of tea.

I guess I'll have to train my tounge better. Guess I have to go to Italy for that purpose only :))


0 komentar:

Posting Komentar