Didorong oleh situasi para pedagang di pasar tradisional sekitar rumah sudah mulai pulang ke kampung halaman mereka untuk berlebaran, sementara di rumah tidak ada bahan makanan apapun, siang ini kembali gue melangkahkan kaki ke Grand Lucky - sebuah supermarket di kisaran wilayah SCBD-. Sinar matahari yang sangat menusuk menembus kaca film mobil yang cuma 40% menimbulkan rasa haus yang udah kebangetan. Oiya, maaf... Lagi nggak puasa. Ditambah lagi si Gendis mukanya udah lemes banget, sambil terus merapal mantera "Aku lapel tauuuu.... Kapan sih kita makan?" yang membuat gue memutuskan untuk mengisi perut dulu sebelum berbelanja.
Di dalam kompleks Grand Lucky ada beberapa restoran, tetapi gue tertarik dengan satu yang bernama Ketjil Kitchen. Saat mendorong terbuka pintunya yang pertama terlihat adalah dekorasi restoran mungil ini yang nampak seperti ruang makan di suatu rumah.
Kehangatan suatu keluarga terasa sekali di sana. Kursi-kursi kayu beserta meja makan bergaya santai serta sofa yang diletakkan tepat di depan jendela dan hiasan dinding yang sangat rumahan semakin menguatkan kesan rumahan itu. Sebagian hiasan dinding tersebut adalah potongan berita dari koran dan majalah yang menceritakan latar belakang dan perkembangan restoran yang idenya dilatarbelakangi oleh keinginan Ninit, sang pemilik, untuk menyalurkan hobi memasaknya.
Begitu masuk gue langsung mengambil tempat di sofa, tetapi ternyata salah seorang pelayannya menghampiri dan memberitahu dengan ramah bahwa pemesanan makanan harus dilakukan di counter dan dibayar langsung. Baiklah kalau begitu. Setelah melihat-lihat beberapa saat akhirnya gue memutuskan untuk memesan menu standar yaitu: 1 bitterballen, 1 grilled chicken breast (menu andalan), 1fettucini carbonara, 1 mint iced tea, dan 1 chocolate milkshake. Iced tea langsung selesai begitu gue membayar dan bisa langsung dibawa ke meja. Hal pertama yang gue rasakan setelah mencicipi minuman tersebut adalah, "Manis banget". Harap maklum, selera manis gue sangatlah terbatas. Gue susah banget kalo berurusan dengan gula atau sirup, jadi untuk ukuran gue terlalu manis tapi untuk orang lain mungkin nggak. Akhirnya gue minta ditambah es batu lagi, yang mereka berikan dengan ramah. Satu hal yang gue sayangkan, daun mint-nya kalau agak dihancurkan sedikit akan menambah sensasi di segelas minuman tersebut. Sayangnya mereka hanya memasukkan daun mint utuh.
Untuk sisa menu yang lain ternyata mereka akan memanggil gue untuk mengambil satu-persatu. Hhhmm.. Ribet juga ya mengingat gue harus bolak balik sambil ngeliatin Gendis di meja. Andai aja jadinya makanan itu bisa bareng semua mungkin akan lebih enak. Makanan diletakkan di counter berbeda, dimana mereka juga letakkan alat-alat makan, garam, lada, chili flakes, saus dan lain-lain yang biasa kita tambahkan ke makanan. Ini juga merepotkan karena mereka tidak menyediakan nampan. Coba bayangkan, dengan piring sebesar itu di tangan kiri, sendok/pisau dan garpu di tangan kanan, bagaimana caranya gue harus membawa cup berisi chili flakes? Harus bolak balik kan? Nggak efektif sih kalo menurut gue.
Setelah tiga kali bolak balik semua menu akhirnya terhidang. Pertama yang gue coba adalah bitterballen. Buat gue, bitterballen adalah makanan jadul yang harus memiliki sedikit rasa ala Belanda yang meningatkan pada masa kecil saat masih sering diajak makan di luar oleh mbah gue. Yang dijual oleh restoran ini tidak begitu. Rasanya sangat modern, tapi cukup enak. Suwiran ayam terasa tercampur dengan halus tanpa ada bumbu yang dominan. Semuanya terpadu dengan pas. Nilainya 8. Harganya 23.500.
Gue sempat juga mencicipi fettuchini carbonara smoked beef si Gendis. Untuk bocah 5.5 tahun mungkin rasanya sudah cukup enak, tetapi sayangnya tidak untuk lidah gue.Tingkat kekentalan sausnya sudah pas sekali, tetapi agak kurang banyak untuk porsi pasta sebesar itu. By the way, porsinya besar banget, malah terlalu besar gue bilang sih. Rasa kejunya butuh sekitar 2 tone lagi supaya gak terlalu samar. Satu hal yang cukup menolong buat gue adalah mereka meletakkan banyak sekali potongan jamur yang besar-besar. I love mushroom :) Untuk harga 35.500 buat gue masakan ini hanya bisa diberi nilai 6.5.
Dasar lidah bocah masih awam ya, dikasih milkshake coklat asal rasanya coklat aja udah bahagia banget dia. Dia bilang enak, tapi kali ini tanpa jempol. Gendis gue biasakan untuk kasih tau pendapatnya tentang makanan dengan tingkatan enak, satu jempol, dua jempol. Kali ini "enak" aja. Dan gue setuju sama dia. Milkshake-nya cuma terasa seperti coklat bubuk yang dicampur dengan susu cair dan gula, lalu diblender sebentar. Sepertinya mereka juga gak kasih es krim sebagai campuran, hanya whipcream di permukaan saat dihidangkan. Harga segelas milkshake ini kalau tidak salah 22.500, dan menurut gue, sangat tidak direkomendasikan.
Makanan terakhir yang gue coba sudah pasti makanan gue sendiri. Grilled chicken. Dari potongan berita yang terpajang di dinding, menu ini adalah menu andalan mereka. Wajar dong kalau gue berharap lebih banyak? Saat makanan gue ambil, harus jujur, gue suka sekali dengan tampilannya yang rumahan banget. Seperti sepiring makanan yang baru selesai dimasakkan oleh seorang ibu untuk keluarganya.
Look at that mashed potato. Waktu baru liat gue ngences banget. Langsung ambil garpu and shoved it to my mouth. Eeeekkkkk..... Gatot. Mashed potato-nya kurang rasa. Padahal kalo ditambah sedikit aja lada sama garam lagi pasti enak. Sementara ituuuuu... Grilled chicken-nya keasinan. Jadi sepertinya si dada ayamnya sudah diberi garam dan lada, sementara saus jamurnya pun agak banyak diberi garam, sehingga saat berpadu.. haduh... bagus sih buat gue yang lagi drop tekanan darahnya, tapi kalo buat yang darah tinggi jangan dulu deh. Satu hal yang gue suka, potongan sayurannya itu amat sangat enak. Hanya ditumis dengan bumbu tipis tapi enak sekali lho. Harganya 47.500. Rekomen? Mmmm.... Gak terlalu sih.
Total pengeluaran belanja makan kali ini adalah 178.500, untuk dua orang, yang menurut gue dengan rasa makanan seperti itu adalah a total waste of money :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar